MENGAPA DARWINISME
BERTENTANGAN DENGAN AL QUR’AN
Harun
Yahya
Penerjemah: Erich H.
Ekoputra
Penyunting: Aryani
DAFTAR ISI:
PENGANTAR
MENGAPA
SEBAGIAN KAUM MUSLIMIN MENDUKUNG
TEORI
EVOLUSI?
KEBENARAN PENTING YANG
TERABAIKAN OLEH KAUM
MUSLIMIN YANG MENDUKUNG
TEORI EVOLUSI
ILMU
PENGETAHUAN TENTANG CIPTAAN ALLAH
KEKELIRUAN MEREKA YANG
MENGGUNAKAN AYAT-AYAT
AL QUR’AN UNTUK
‘MEMBUKTIKAN’ EVOLUSI
APA YANG TERJADI JIKA
DARWINISME TIDAK
DIANGGAP SEBAGAI SEBUAH
ANCAMAN?
KESIMPULAN
PENGANTAR
Beragam konsep bisa muncul
di benak kita apabila teori evolusi disebut. Sebagian orang, terutama kaum
materialis yang mengira teori ini adalah fakta yang sudah terbukti secara
ilmiah, dengan amat sengit mendukungnya, dan juga, dengan sama sengitnya,
menolak semua gagasan yang bertentangan dengannya.
Kelompok
kedua terdiri atas orang-orang yang tidak punya cukup keterangan tentang
berbagai pernyataan teori evolusi. Mereka tak begitu tertarik kepadanya, karena
tidak menyadari kerusakan yang telah dibawa Darwinisme kepada kemanusiaan dalam
satu setengah abad terakhir ini. Bagi mereka tidak menjadi masalah bahwa teori
ini dicekokkan kepada masyarakat serta dipertahankan mati-matian, sekalipun
secara ilmiah teori ini sudah tidak absah, sebab mereka telah menutup mata
terhadap apa yang sedang berlangsung.
Seandainya pun mereka tahu
bahwa teori ini telah kehilangan semua nilai kebenaran ilmiahnya, mereka tidak
bisa bersungguh menghadapi orang yang masih memandangnya penting, karena mereka
sendiri tidak menganggapnya penting. Mereka pikir tidak perlu menerangkan
ketidak-absahan teori tersebut, menerbitkan buku, atau menggelar
ceramah-ceramah tentang perihal ini, sebab di mata mereka teori itu sudah jadi
barang kuno atau usang.
Kelompok ketiga adalah mereka,
yang di bawah pengaruh saran dan propaganda materialis, memandang teori ini
sebagai fakta ilmiah dan mencari “jalan tengah” antara teori evolusi dan iman
kepada Allah. Mereka menerima segenap uraian Darwinisme tentang asal-muasal
kehidupan, namun mencoba membangun jembatan yang menghubungkan teori evolusi
dengan kepercayaan agama, yaitu dengan berpendapat bahwa peristiwa dalam uraian
tersebut berlangsung dalam kendali Allah.
Sesungguhnya, semua
pandangan itu keliru, sebab teori evolusi tidak dapat disajikan secara nalar
sebagai sebuah fakta ilmiah, diabaikan seakan sepele, maupun disesuaikan dengan
agama. Sebagaimana akan kita lihat di sepanjang buku ini, kerangka pemikiran
teori ini adalah gagasan anti-agama, yang diajukan untuk memperkuat paham ateisme
(paham tak bertuhan) dan memberinya landasan yang kukuh. Lebih lagi, teori ini
dibela dengan sengit oleh mereka yang sudah terbuai oleh materialisme, karena
dibangun di atas filsafat materialis (kebendaan), dan menyajikan uraian tentang
dunia secara materialis. Sejak pertama kali dikemukakan oleh Charles Darwin
sampai hari ini, teori ini tidak menyumbangkan apa pun bagi kemanusiaan selain
pertikaian, pengisapan, perang, dan kemunduran. Menimbang hal itu, penting bagi
kita untuk memiliki pemahaman yang kuat atas permasalahan ini, dan melancarkan
perjuangan yang sungguh-sungguh untuk melawannya di tingkat pemikiran atau
ideologis.
Buku ini menanggapi, dari
sudut pandang yang amat berbeda, berbagai kesalahan kaum beriman, yang masih
mendukung teori evolusi. Buku ini menawarkan jawaban bagi kaum Muslimin yang
mencari satu “tempat pijakan bersama” bagi teori evolusi serta fakta
penciptaan, dan yang bahkan mencoba memperoleh bukti kebenaran teori itu dalam
Al Qur’an. Maksud buku ini bukanlah mencela kaum Muslimin pendukung teori
evolusi, melainkan menjelaskan bahwa sikap mereka itu keliru, membantu mereka
pada aras pemikiran, dan menjadi sarana bagi mereka untuk menerapkan sudut
pandang yang lebih tepat.
Dua fakta lain akan
dibahas dalam buku ini. Pertama, Darwinisme adalah sebuah teori yang tak
berlandasan ilmiah, dan kedua, bahwa sasaran teori ini yang sebenarnya adalah
agama. Karena itu, buku ini akan menekankan betapa keliru apabila kaum Muslimin
menganggap enteng atau meremehkan teori itu, dan tidak melihat perlunya
mengobarkan perang pemikiran melawannya.
Kaum beriman harus
menghindari membela teori ini dan makna pemikirannya, karena keduanya menentang
kebenaran Islam. Sebagian mukmin mungkin mendukung teori ini, karena tidak
sadar akan berbagai bencana yang dibawanya pada umat manusia, bahwa teori ini
didukung oleh mereka yang membenci agama, dan bahwa teori ini menolak fakta
penciptaan. Mengingat hal itu, kaum Muslimin yang hanya memiliki sedikit
pengetahuan tentang teori ini, harus menghindari menempuh jalan itu, sebab
sebagaimana difirmankan Allah dalam Al Qur’an kepada mereka yang taat:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al Israa’, 17: 36)
Muslim teladan sebaiknya
meneliti masalah ini dengan setulusnya, dan berlaku sesuai dengan kesadaran
bahwa:
Barangsiapa yang taat, maka mereka itu
benar-benar telah memilih jalan yang lurus.(QS. Al Jin, 72: 14)
Sebagaimana diperintahkan
ayat di atas, kaum Muslimin yang meyakini kebenaran teori evolusi harus
mempertimbangkan teori ini dengan hati-hati, melakukan penelitian yang luas,
dan mengambil keputusan sesuai dengan nurani mereka. Buku ini ditulis untuk menolong
mereka melakukan hal-hal tersebut, dan untuk sekadar menyinari jalan yang
mereka tempuh.
BAB I
MENGAPA SEBAGIAN KAUM MUSLIMIN MENDUKUNG TEORI EVOLUSI?
Sepanjang sejarah, manusia
sudah memikirkan alam semesta dan asal-muasal kehidupan ini, dan sudah mengajukan
berbagai gagasan tentang hal ini. Kita dapat membagi gagasan-gagasan itu
menjadi dua kelompok: yang menjelaskan alam semesta ini dari sudut pandang
materialis, dan yang melihat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari
ketiadaan, yakni, kebenaran penciptaan.
Dalam pengantar buku ini,
telah kita lihat bahwa teori evolusi didirikan pada filsafat materialis.
Pandangan materialis menyatakan bahwa alam semesta terdiri atas materi, dan
materi adalah satu-satunya hal yang ada. Karena itu, materi ada selama-lamanya,
dan tidak ada kuasa lain yang mengaturnya. Kaum materialis percaya bahwa faktor
ketidaksengajaan (kebetulan) yang buta menyebabkan alam semesta membentuk diri,
dan makhluk hidup muncul secara bertahap, berevolusi dari zat-zat tak-hidup.
Dengan kata lain, semua makhluk hidup di dunia ini muncul sebagai akibat
berbagai pengaruh alam dan ketidaksengajaan.
Filsafat materialis
menggunakan teori evolusi, yang keduanya saling melengkapi, untuk menjelaskan
timbulnya makhluk hidup. Kesatuan ini, yang lahir di zaman Yunani kuno, kembali
disebarluaskan saat ilmu pengetahuan masih terbelakang di abad ke-19, dan,
karena teori itu dianggap mendukung paham materialisme, tak perduli secara
ilmiah absah atau tidak, teori ini segera dirangkul oleh kaum materialis.
Fakta penciptaan
bertentangan dengan teori evolusi. Menurut pandangan kreasionis (penciptaan),
materi tidaklah ada sejak dan untuk masa yang tak terhingga, dan karena itu,
dikendalikan. Allah menciptakan materi dari ketiadaan dan memberinya
keteraturan. Semua makhluk, hidup maupun tak-hidup, ada karena diciptakan
Allah. Rancangan, perhitungan, keseimbangan, dan keteraturan yang tampak di
alam semesta dan dalam makhluk hidup merupakan bukti nyata akan hal ini.
Semenjak awal, agama telah
mengajarkan kebenaran penciptaan, yang dapat dipahami semua orang melalui
penggunaan akal dan pengamatan pribadi. Semua agama samawi telah mengajarkan
bahwa Allah menciptakan alam semesta dengan berfirman “Jadilah!”, dan bahwa
bekerjanya alam semesta secara sempurna tanpa cela merupakan bukti daya
ciptaNya yang agung. Banyak ayat Al Qur’an juga mengungkapkan kebenaran ini.
Misalnya, Allah mengungkapkan bagaimana Dia secara ajaib menciptakan alam
semesta dari ketiadaan:
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila
Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya
mengatakan kepadanya: "Jadilah”. Lalu jadilah ia. (QS. Al Baqarah, 2: 117)
Allah juga mengungkapkan
yang berikut:
Dan Dialah yang menciptakan
langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia
mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala
kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang
nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6:
73)
Ilmu pengetahuan mutakhir
membuktikan ketidak-absahan pernyataan materialis-evolusionis, dan menegaskan
kebenaran penciptaan. Berlawanan dengan teori evolusi, semua bukti penciptaan
yang mengelilingi kita menunjukkan bahwa faktor kebetulan tidak berperan dalam
terwujudnya alam semesta. Setiap rincian yang tampak saat kita mengamati
langit, bumi, dan semua makhluk hidup dimaksudkan sebagai bukti kebijaksanaan
dan kekuasaan Allah yang agung.
Perbedaan
mendasar antara agama dan paham ateisme adalah, yang pertama mempercayai Allah,
sedangkan yang terakhir mempercayai materialisme. Ketika Allah bertanya kepada
mereka yang ingkar, Dia menarik perhatian terhadap pernyataan yang mereka
ajukan untuk menolak penciptaan: Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka
yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS. Ath Thuur, 52: 35)
Sejak zaman bermula,
mereka yang mengingkari penciptaan senantiasa menyatakan bahwa manusia dan alam
semesta tidaklah diciptakan, dan selalu berusaha membenarkan pernyataan tak
masuk akal itu. Dukungan yang terbesar bagi mereka tiba di abad ke-19, berkat
teori Darwin.
Kaum muslimin tidak boleh
mengadakan jalan tengah dalam masalah ini. Memang, orang boleh berpikir
sesukanya, dan boleh percaya apa pun yang ingin dipercayainya. Akan tetapi,
tidak ada jalan tengah bagi teori yang mengingkari Allah dan ciptaanNya, sebab
hal itu berarti tawar-menawar dalam unsur dasar agama. Tentu, berbuat demikian
sama sekali tak bisa diterima.
Para evolusionis, karena
sadar betapa jalan tengah seperti itu akan merusak agama, mendorong orang-orang
beriman agar berusaha memperolehnya.
Kaum Darwinis Menganjurkan Pandangan
Penciptaan-melalui-Evolusi
Para ilmuwan yang
mendukung teori evolusi secara buta, kini semakin tersudut oleh berbagai
kemajuan ilmiah baru, yang kian lama kian banyak dan kian terbuka bagi orang
awam. Menyadari bahwa setiap penemuan baru adalah bertentangan dengan teori
ini, serta menegaskan kebenaran penciptaan, maka demagogi (tindakan menghasut
masyarakat) pun berperan lebih penting daripada bukti ilmiah dalam berbagai
naskah evolusionis. Di sisi lain, majalah-majalah ilmiah pendukung teori
evolusi yang paling terkemuka sekalipun, seperti Science, Nature,
Scientific American atau New Scientist, terpaksa mengakui bahwa
beberapa segi dalam teori Darwin sudah menghadapi jalan buntu. Para ilmuwan
yang mendukung paham penciptaan memenangkan berbagai debat ilmiah ini, dan
dengan demikian, menyingkapkan berbagai pernyataan tak berdasar yang diajukan
kaum evolusionis.
Di sinilah, pandangan
penciptaan lewat evolusi menjadi penolong bagi kaum materialis. Ini merupakan
salah satu taktik yang digunakan kaum evolusionis untuk melunakkan sikap para
pendukung paham penciptaan (atau “Rancangan Cerdas”), dan melemahkan posisi
intelektual mereka dalam melawan dogma Darwinisme. Walaupun tidak mempercayai
Tuhan karena telah mendewakan faktor kebetulan atau ketidaksengajaan, dan
menentang habis fakta penciptaan, kaum evolusionis menganggap bahwa teori
mereka akan lebih dapat diterima jika mereka berdiam diri tentang gagasan kaum
beragama yang sekaligus mendukung teori evolusi, bahwa Allah menciptakan
makhluk hidup lewat evolusi. Malah, mereka menganjurkan jalan tengah antara
teori ini dan agama, sehingga evolusi lebih dapat diterima dan kepercayaan akan
penciptaan melemah.
Melihat ini, kaum Muslimin
harus mengerti bahwa adalah salah sepenuhnya apabila kita percaya bahwa Allah
menciptakan alam semesta, namun sekaligus mendukung teori evolusi sekalipun
tidak ada bukti ilmiah yang meyakinkan. Lebih jauh lagi, adalah sama salahnya
apabila kita menyatakan bahwa evolusi selaras dengan Al Qur’an, dengan cara
mengabaikan semua peringatan dalam kitab suci itu sendiri. Kaum Muslimin yang
bersikap seperti itu perlu menyadari bahwa mereka sedang mendukung sebuah
gagasan yang dirancang untuk membantu filsafat materialis dan, setelah tahu hal
ini, harus segera menarik kembali dukungan mereka.
Menolak Evolusi Tidak Berarti
Menolak Ilmu Pengetahuan
Jumlah Muslim yang percaya
bahwa semua makhluk hidup muncul melalui evolusi tidaklah boleh diremehkan.
Kesalahan mereka berdasarkan pada kurangnya pengetahuan serta berbagai sudut
pandang yang keliru, khususnya yang terkait dengan berbagai masalah ilmu
pengetahuan. Kesalahan yang utama adalah gagasan bahwa evolusi adalah fakta
ilmiah dan sudah terbukti kebenarannya.
Orang seperti
mereka tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan telah mengikis habis tingkat
kebenaran teori evolusi. Baik di tingkat molekuler, atau pun dalam biologi dan paleontologi,
penelitian telah membuktikan
ketidak-absahan pernyataan makhluk hidup muncul sebagai hasil proses evolusi.
Teori Darwin mampu bertahan,
sekalipun bertentangan dengan kenyataan ilmiah, hanya karena para evolusionis melakukan segala hal yang mereka bisa, termasuk sengaja menyesatkan
orang, agar teori itu tetap
hidup. Tulisan dan ceramah mereka dipenuhi istilah
ilmiah yang tidak dimengerti orang awam. Tetapi bila kata-kata mereka ditelaah, orang tidak dapat menemukan bukti
untuk mendukung teori mereka.
Pemeriksaan yang seksama
atas karya tulis terbitan kaum Darwinis telah jelas mengungkapkan kenyataan
ini. Uraian mereka hampir tidak pernah berdasarkan bukti ilmiah yang kukuh.
Berbagai bidang mendasar, tempat teori ini runtuh, dipulas dengan beberapa
patah kata, dan banyak uraian aneh ditulis tentang sejarah alam. Mereka tidak
pernah memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan utama, misalnya
bagaimana pertama kali kehidupan timbul dari zat-zat yang tak-hidup,
celah-celah lebar pada catatan fosil, dan sistem pada makhluk hidup yang rumit.
Mereka tidak melakukannya, karena apa pun yang dapat mereka katakan atau tulis
akan berlawanan dengan tujuan mereka serta mengungkapkan kekosongan teori
mereka.
Ketika Charles Darwin
(1809-1882), pendiri teori ini, menelaah salah satu sistem rumit yang terdapat
pada makhluk hidup, yakni mata, ia menyadari bahaya yang mengancam teorinya,
dan ia bahkan mengakui bahwa memikirkan mata membuat sekujur tubuhnya
menggigil. Seperti Darwin, para ilmuwan evolusionis masa kini tahu bahwa teori
mereka tidak memiliki penjelasan tentang sistem rumit serupa itu. Namun,
bukannya mengakui hal ini, mereka justru mencoba menutupi tiadanya bukti
ilmiah, dengan cara menulis berbagai uraian khayal serta mencekokkan teori ini
kepada masyarakat dengan memberinya sebuah topeng ilmiah.
Cara-cara ini tampak jelas
dalam debat tatap muka antara kaum evolusionis dengan mereka yang meyakini
penciptaan, maupun dalam tulisan dan film dokumenter evolusionis. Sebenarnya,
kaum evolusionis tidak peduli pada hal-hal seperti kebenaran ilmiah atau akal
sehat, karena sasaran tunggalnya adalah membuat orang yakin bahwa evolusi
adalah kenyataan ilmiah.
Dengan cara demikian, kaum
Muslimin pendukung evolusi termakan oleh citra teori ini yang katanya “ilmiah”.
Khususnya, mereka tertusuk oleh semboyan Darwinis, seperti: “Siapa pun yang
tidak mempercayai teori evolusi artinya bersikap taklid (meyakini sesuatu
secara buta) atau tidak ilmiah,” dan karena itu memberikan ruang dalam
keyakinan mereka yang sebenarnya. Karena terpengaruh keterangan usang atau
tulisan dan pendapat evolusionis, mereka percaya bahwa hanya evolusi yang dapat
menerangkan peristiwa munculnya kehidupan. Lalu mereka mencoba menyelaraskan
agama dan evolusi, karena tidak mengetahui perkembangan ilmiah mutakhir maupun
pertentangan dalam teori itu sendiri, serta tingkat keyakinan terhadap
kebenaran teori tersebut yang telah lenyap.
Akan tetapi, menimbang
bahwa evolusi bertentangan 180 derajat dengan penciptaan, membuktikan kebenaran
yang satu akan berarti menggugurkan yang lainnya. Dengan kata lain,
menggugurkan evolusi berarti membuktikan penciptaan.
Karena alasan-alasan ini,
kaum materialis memandang debat tentang evolusi sebagai sejenis medan perang,
semacam perang terbuka antar paham pemikiran, dan bukan sebagai masalah ilmiah.
Jadi, kaum materialis melakukan semua cara yang mungkin untuk menghalangi
mereka yang meyakini paham penciptaan.
Misalnya, evolusionis
Lerry Flank menyarankan agar kebenaran penciptaan dilawan dengan cara-cara
berikut:
Para pengawas terhadap
kaum kreasionis harus ketat mengawasi susunan anggota dewan pendidikan negara
bagian. Sebaiknya, mereka yang berminat kepada pendidikan yang bermutu serta
kepada pencegahan langkah kaum fundamentalis yang hendak memakai sekolah negeri
untuk berkhotbah, menjadi mayoritas anggota dewan-dewan ini … Jika ini gagal,
dan buku-buku pelajaran berpaham kreasionis benar-benar dipakai dan disetujui,
maka tindakan hukum menjadi perlu diambil. [1]
Jelaslah dari kata-kata
ini bahwa kita bukan sedang bicara tentang suatu debat ilmiah, melainkan
tentang sebuah perang gagasan, yang dicanangkan oleh kaum evolusionis dalam
kerangka kerja siasat tertentu.
Kaum Muslimin yang
mempertahankan evolusi harus menyadari hal ini. Darwinisme bukan sebuah
pandangan ilmiah; melainkan sebuah sistem berpikir yang dirancang untuk
menggiring orang mengingkari Allah. Karena teori ini tidak berlandasan ilmiah,
seorang Muslim tidak boleh membiarkan diri disesatkan oleh berbagai pendapat
dalam teori ini, dan lalu memberikan dukungan, setulus apa pun niatnya.
Akibat Jika Kaum Evolusionis Menjadi Mayoritas
Muslihat terpenting kaum
evolusionis agar teori Darwin diterima secara luas adalah dengan menandaskan
bahwa teori itu diterima luas di kalangan masyarakat ilmiah. Pendeknya, mereka
menyatakan keabsahan teori ini didasarkan atas anggapan bahwa penganutnya
merupakan mayoritas (berjumlah terbanyak), dan anggapan bahwa pandangan
mayoritas adalah benar dalam setiap masalah. Dengan menggunakan jalan pikiran
itu, serta pernyataan bahwa kebenaran evolusi kian terbukti oleh penerimaan
yang luas di berbagai perguruan tinggi, mereka mencoba memakai tekanan kejiwaan
pada setiap orang, termasuk yang percaya kepada Allah, untuk menerimanya.
Arda Denkel, seorang
evolusionis guru besar ilmu filsafat di Universitas Bosphorus, mungkin yang
paling tersohor di Turki, bahkan mengakui kelirunya cara ini:
Apakah dengan banyaknya
orang, organisasi atau lembaga terhormat yang mempercayainya, teori evolusi
terbukti benar? Bisakah teori itu dibuktikan dengan keputusan pengadilan?
Apakah jika orang terhormat atau berkuasa mempercayai sesuatu, maka sesuatu itu
akan menjadi benar? Saya ingin mengenang sebuah kenyataan sejarah. Bukankah
Galileo berdiri di hadapan semua orang, pengacara, dan khususnya ilmuwan
terhormat zamannya, dan secara sendirian mengatakan kebenaran, tanpa dukungan
satu orang pun? Tidakkah berbagai sidang dewan Inkuisisi mengungkapkan suasana
serupa? Memperoleh dukungan dari kelompok terhormat dan berpengaruh tidak
menciptakan kebenaran, dan tidak berkaitan dengan kenyataan ilmiah.[2]
Seperti pendapat Denkel,
penerimaan luas terhadap sebuah teori tidak membuktikan kebenarannya. Nyatanya,
sejarah ilmu pengetahuan dipenuhi berbagai contoh teori, yang awalnya diterima
oleh sedikit orang (golongan minoritas) saja, dan baru kemudian diterima
kebenarannya secara mayoritas.
Lebih lagi, evolusi
tidaklah diterima oleh seluruh masyarakat ilmiah, seperti yang diupayakan oleh
para pendukungnya agar diyakini orang. Selama 20-30 tahun terakhir, jumlah
ilmuwan yang menolaknya telah meningkat secara luar biasa. Kebanyakan dari
mereka meninggalkan kepercayaan buta kepada Darwinisme, sesudah melihat
rancangan yang tanpa cacat di alam semesta dan dalam makhluk hidup. Mereka
telah menerbitkan karya tulis yang tak terhitung jumlahnya, yang membuktikan
ketidak-absahan teori itu. Lebih penting lagi, mereka merupakan anggota
berbagai perguruan tinggi terkemuka di seantero dunia, khususnya Amerika
Serikat dan Eropa, dan pakar serta peneliti karir dalam bidang biologi,
biokimia, mikrobiologi, anatomi, paleontologi, dan bidang ilmu lainnya.[3] Karena itu, sangat keliru berkata bahwa jumlah terbanyak dalam masyarakat
ilmiah mempercayai evolusi.
Karena itu, tidak akan bermakna
apa-apa, sekalipun jika kaum evolusionis sungguh menjadi jumlah terbanyak.
Tidak ada pandangan mayoritas yang sepenuhnya benar hanya karena itu pandangan
mayoritas. Kaum Muslimin yang mempercayai evolusi perlu tahu bahwa Al Qur’an
membahas masalah ini ketika menceritakan nasib banyak masyarakat zaman dahulu,
yang berpandangan serupa, dan akhirnya mengingkari Allah dan agamaNya dengan
cara membiarkan diri tersesat dari jalan yang lurus. Allah memperingatkan kaum
mukmin agar tidak mengikuti orang-orang yang penuh tipu-daya demikian, dan
mengabarkan kepada umat manusia bahwa berjalan bersama jumlah terbanyak, atau
mayoritas, bisa mengakibatkan manusia tergiring ke arah kesalahan yang
mengerikan:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang
di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al An’aam, 6: 116)
BAB II
KEBENARAN PENTING YANG
TERABAIKAN OLEH KAUM MUSLIMIN YANG MENDUKUNG TEORI EVOLUSI
Dalam bab sebelumnya,
telah kita bahas bagaimana kaum Muslimin yang telah diyakinkan bahwa evolusi
itu adalah sebuah fakta (kenyataan), dan bukan teori, mungkin tak menyadari
berbagai kemajuan ilmiah terkait dan mutakhir, yang membantah paham Darwinisme.
Tiadanya kesadaran ini menghalau kaum evolusionis Muslim untuk terus menerima
gagasan dan kepercayaan yang sudah dibuktikan sebagai tak absah oleh ilmu
pengetahuan. Lebih jauh, mereka mengabaikan kenyataan bahwa landasan yang
mendasari evolusi mencerminkan tabiat pagan (musyrik, atau tak
beragama), menganggap bahwa kuasa ilahiah dimiliki oleh unsur kebetulan atau
ketidaksengajaan dan peristiwa alam, dan telah menyebabkan amat banyak
penindasan, pertikaian, perang, dan berbagai malapetaka lain.
Bab ini akan khusus
membahas kenyataan itu, yang terabaikan oleh kaum evolusionis Muslim, dan
menghimbau mereka agar menghentikan dukungan bagi tabiat pagan yang
memberikan landasan bagi paham pemikiran materialis dan tak bertuhan.
Evolusi Adalah Gagasan Yunani Kuno
yang Tak Mengenal Agama
Berlawanan dengan yang
dinyatakan oleh para pendukungnya, evolusi bukanlah sebuah teori ilmiah,
melainkan sebuah kepercayaan musyrik. Gagasan tentang evolusi muncul pertama
kalinya dalam masyarakat kuno, seperti Mesir, Babilonia, dan Sumeria, lalu
mencapai para filsuf Yunani kuno. Tugu peninggalan bangsa Sumeria yang musyrik
berisi pernyataan yang mengingkari penciptaan, dan menegaskan bahwa makhluk
hidup muncul dengan sendirinya sebagai bagian proses yang bertahap. Menurut
kepercayaan Sumeria, kehidupan muncul dengan sendirinya dari kekacauan atau
pergolakan air.
Sebagai bagian dari agama
takhayul yang dianutnya, orang Mesir kuno percaya bahwa “ular, katak, cacing,
dan tikus timbul dari lumpur banjir Sungai Nil”. Sama seperti orang Sumeria,
orang Mesir kuno mengingkari keberadaan Sang Pencipta, dan mengira bahwa
“makhluk hidup muncul dari lumpur secara kebetulan atau tanpa sengaja.”
Pernyataan terpenting para
filsuf Yunani seperti Empedocles (abad ke-5 SM), Thales (wafat 546 SM), dan
Anaximander (wafat 547 SM) dari Miletus adalah bahwa makhluk hidup pertama
terbentuk dari zat-zat tak-hidup seperti udara, api, dan air. Teori ini
berpendapat makhluk hidup pertama muncul tiba-tiba di air, dan lalu beberapa di
antaranya meninggalkan air, menyesuaikan diri hidup di darat, dan mulai menetap
hidup di sana. Thales percaya bahwa air adalah akar segenap kehidupan, bahwa
tumbuhan dan hewan mulai berkembang di air, dan bahwa manusia adalah hasil
akhir proses ini.[4] Anaximander, filsuf sezaman Thales yang lebih muda, berpendirian bahwa
“manusia tumbuh dari ikan” dan bahwa sumber kehidupan mulai dengan “segumpal
massa purba”. [5]
Karya puisi Anaximander Tentang
Alam merupakan karya tulis pertama yang ada yang berdasarkan teori evolusi.
Dalam puisi itu, ia menulis bahwa makhluk hidup muncul dari lendir yang
dikeringkan oleh matahari. Ia berpikir bahwa hewan pertama berkulit sisik yang
berduri, dan hidup di lautan. Sambil berubah perlahan-lahan, makhluk mirip ikan
ini pindah ke darat, melepaskan kulit sisik durinya, dan akhirnya menjadi
manusia.[6] (Untuk lebih rinci,
lihat The Religion of Darwinism, Harun Yahya, Abu'l Qasim Publishers,
Jeddah, 2003). Teorinya bisa dianggap sebagai landasan pertama teori evolusi
masa kini, karena memiliki banyak kemiripan dengan paham Darwinisme.
Empedocles menyatukan gagasan-gagasan awal, dan mengemukakan bahwa
unsur-unsur dasar (yakni, tanah, udara, api, dan air) bersatu menciptakan
berbagai tubuh. Ia juga percaya bahwa manusia berkembang dari kehidupan
tumbuhan, dan hanya faktor di luar kesengajaanlah yang berperan dalam proses
ini. [7] Sebagaimana telah
disebutkan, pemikiran tentang ketidaksengajaan ini beserta perannya dalam
penciptaan, menjadi landasan utama ditegakkannya teori evolusi.
Heraclitus (wafat abad ke-5 SM) menyatakan, karena alam semesta selalu
dalam proses perubahan yang terus-menerus, tidak ada gunanya mempertanyakan
dongeng uraian tentang awal alam semesta. Ditandaskan olehnya bahwa alam
semesta tidak berawal atau berakhir. Sebaliknya, alam semesta ada begitu saja. [8] Singkatnya,
kepercayaan materialis, yang di atasnya berdiri evolusi, juga ada di masa
Yunani kuno.
Gagasan perkembangan
seketika didukung oleh banyak filsuf Yunani lain, khususnya Aristoteles
(384-322 SM). Gagasan ini mengatakan bahwa hewan, khususnya cacing, serangga,
dan tumbuhan, muncul dengan sendirinya di alam, dan tidak perlu melalui proses
pembuahan. Maurice Manquat, yang tersohor akan berbagai kajiannya tentang
gagasan Aristoteles mengenai sejarah alam, suatu kali berkata:
Aristoteles begitu
memikirkan asal-muasal kehidupan, sampai-sampai ia menerima kemunculan seketika (bersatunya zat-zat tak-hidup
untuk seketika membentuk makhluk hidup) untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa
tertentu yang tidak dapat diterangkan dengan cara lain. [9]
Bila diperiksa dengan
seksama, tampak ada cukup banyak kemiripan antara gagasan-gagasan para pemikir
evolusionis zaman dulu dengan sekarang. Akar gagasan materialis, yaitu alam
semesta tak berawal dan tak berakhir, maupun pandangan evolusionis, yaitu
makhluk hidup muncul sebagai akibat faktor kebetulan, terdapat dalam budaya Sumeria
musyrik, dan umum di kalangan pemikir materialis Yunani. Gagasan bahwa
kehidupan muncul dari air dan adonan yang disebut segumpal “massa purba”, serta
bahwa makhluk hidup muncul hanya karena ketidaksengajaan, menjadi dasar kedua
gagasan ini, yang masih terkait sekalipun terpisah tenggang waktu yang amat
panjang.
Jadi, kaum evolusionis
Muslim mendukung sebuah teori, yang akarnya tertanam dalam gagasan kuno yang
telah terbukti tidak memiliki dasar ilmiah. Lebih lagi, gagasan serupa pertama
kali diusulkan oleh para pemikir materialis kuno, dan mengandung makna pagan
atau musyrik.
Sebenarnya, evolusi tidak
terbatas pada budaya Sumeria kuno maupun filsuf Yunani kuno saja, sebab evolusi
juga membentuk saripati berbagai sistem kepercayaan mutakhir yang besar,
seperti Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Dengan kata lain, evolusi tidak
lebih daripada sebuah teori, yang sepenuhnya bertentangan dengan keyakinan
dalam Islam.
Sebagian evolusionis
Muslim, sekalipun bertentangan dengan bukti ilmiah, menyatakan bahwa Al Qur’an
mendukung apa yang disebut-sebut sebagai “teori evolusi penciptaan”,
dan mencoba menemukan sumber evolusi di dunia Muslim. Mereka menyatakan bahwa
gagasan ini pertama kali muncul dari para pemikir Muslim dan, saat karya mereka
diterjemahkan ke dalam bahasa asing, gagasan evolusionis timbul di dunia Barat.
Akan tetapi, beberapa
contoh di atas jelas mengungkapkan bahwa evolusi tidak lebih daripada sebuah
kepercayaan kuno, yang lahir di masyarakat kuno yang tak beragama. Sungguh
suatu kesalahan besar apabila kita mencoba membuktikan bahwa paham evolusionis,
yang dibangun di atas dasar kebendaan, bisa berasal dari kaum Muslimin, padahal
sama sekali tidak ada dasar ilmiah dan sejarah yang mendukung pernyataan itu.
Ketidaksengajaan Bertentangan
dengan Kebenaran Penciptaan
Mereka
yang berpendapat bahwa evolusi tidak bertentangan
dengan penciptaan, lupa akan satu hal penting: Orang seperti mereka percaya
bahwa pernyataan utama Darwinisme adalah, makhluk hidup muncul melalui
perubahan bertahap (evolusi) dari makhluk hidup lain. Akan tetapi, sebenarnya
bukan begitu, sebab kaum evolusionis menyatakan bahwa kehidupan muncul sebagai
hasil ketidaksengajaan, oleh pergerakan tak-sadar. Dengan kata lain, kehidupan
di Bumi lahir tanpa Sang Pencipta, dan dengan sendirinya, dari zat-zat
tak-hidup.
Pernyataan
seperti itu mengingkari keberadaan Sang Pencipta sedari awal, dan karena itu
tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Akan tetapi, sebagian orang Muslim,
yang tidak menyadari kebenaran ini, tidak melihat adanya bahaya apabila
mendukung evolusi, berdasarkan anggapan bahwa Allah bisa saja menggunakan
perubahan bertahap (evolusi) dalam penciptaan makhluk hidup.
Namun,
mereka mengabaikan satu bahaya besar: walaupun mereka sedang mencoba
memperlihatkan bahwa evolusi tidak bertentangan dengan agama, nyatanya mereka
tengah mendukung dan menyetujui sebuah gagasan yang amat tidak mungkin dari
sudut pandang mereka sendiri. Sementara itu, kaum evolusionis berpura-pura
tidak melihat keadaan ini, karena hal ini membantu mereka mencapai tujuan,
yaitu agar masyarakat menerima gagasan mereka.
Melihat
masalah ini sebagai seorang Muslim yang taat, dan mempertimbangkannya dalam
petunjuk Al Qur’an, nyata-nyata bahwa teori yang berlandasan utama
ketidaksengajaan tidak memiliki kesamaan apa pun dengan Islam. Evolusi
menganggap ketidaksengajaan, waktu, dan zat tak-hidup sebagai tuhan, dan
menyematkan gelar “pencipta” pada makhluk-makhluk tak-sadar dan lemah ini. Tak
seorang Muslim pun dapat menerima teori berdasar pagan serupa itu, sebab
setiap Muslim tahu bahwa Allah, satu-satunya Sang Pencipta, yang menciptakan
segalanya dari ketiadaan. Karena itu, Muslim menggunakan ilmu pengetahuan dan
nalar untuk membantah semua kepercayaan dan gagasan yang bertentangan dengan
fakta tersebut.
Evolusi adalah sebagian
dari paham kebendaan (materialisme), dan, menurut materialisme, alam semesta
tidak berawal atau berakhir, sehingga tidak memerlukan Sang Pencipta. Pemikiran
anti-agama ini mengajukan bahwa alam semesta, galaksi, bintang, planet,
matahari, dan benda-benda langit lainnya, beserta sistem dan keseimbangan yang
sempurna tanpa cacat di dalamnya, adalah hasil kebetulan (ketidaksengajaan).
Dengan cara yang sama, teori evolusi menyatakan bahwa protein yang pertama dan
sel yang pertama (yaitu blok atau satuan pembangun makhluk hidup) berkembang
dengan sendirinya sebagai hasil serangkai kebetulan yang buta. Menurut
pemikiran ini juga, semua keajaiban rancangan pada semua makhluk hidup, baik
yang hidup di darat, di laut, atau di udara, adalah hasil ketidaksengajaan.
Walaupun dikepung bukti-bukti penciptaan, dimulai dari rancangan pada tubuhnya
sendiri, penganut teori evolusi bersikeras menganggap bahwa segenap
kesempurnaan itu dihasilkan ketidaksengajaan dan proses tak sadar. Dengan kata
lain, ciri utama mereka adalah menganggap ketidaksengajaan sebagai tuhan, demi
mengingkari keberadaan Allah. Akan tetapi, penolakan untuk menerima atau
melihat keberadaan dan keagungan Allah yang nyata ini, tidaklah mengubah apa
pun. Pengetahuan Allah yang tak berhingga, dan seni Allah yang tak tertandingi,
terungkap sendiri dalam apa pun yang diciptakanNya.
Kenyataannya, berbagai
kemajuan ilmiah mutakhir dengan gamblang menolak pernyataan-pernyataan tak
berdasar evolusionis bahwa kehidupan muncul dengan sendirinya dan melalui
proses alamiah. Rancangan agung pada makhluk hidup menunjukkan bahwa Sang
Pencipta, yang memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan agung, yang menciptakan
semua makhluk hidup. Fakta bahwa organisme yang paling sederhana sekali pun ternyata
adalah rumit tak teruraikan, menempatkan setiap penganut teori evolusi dalam
kebingungan yang sangat, tanpa jalan keluar – sebuah kenyataan yang sering
mereka akui sendiri! Misalnya, matematikawan dan ahli astronomi Inggris yang
tersohor, Fred Hoyle, mengakui bahwa kehidupan tidak mungkin ditimbulkan oleh
ketidaksengajaan:
Akan tetapi, sekali waktu
kita melihat bahwa besarnya kemungkinan makhluk hidup berawal secara acak
adalah begitu kecilnya, sampai-sampai menjadi mustahil …[10]
Evolusionis Pierre-Paul Grassé
mengakui bahwa anggapan sifat ketidaksengajaan memiliki daya cipta adalah murni
khayalan:
Namun, teori Darwin bahkan
lebih sulit dipenuhi: sebatang tumbuhan, seekor hewan, mensyaratkan terjadinya
beribu-ribu peristiwa mujur yang tepat. Jadi, berbagai keajaiban menjadi biasa:
peristiwa dengan tingkat kemungkinan amat rendah tidak mungkin tidak
berlangsung … Tidak ada aturan yang melarang orang berangan-angan, namun dalam
ilmu pengetahuan hal itu tidak boleh berlebihan. [11]
Kata-kata itu membuat
kebingungan pemikiran yang dihadapi kaum evolusionis menjadi benar-benar jelas:
Sekalipun mereka lihat bahwa teori ini tak bisa dipertahankan dan tak ilmiah,
mereka tak mau melepaskannya karena obsesi pemikiran mereka. Dalam pernyataan
lainnya, Hoyle mengungkapkan mengapa kaum evolusionis yakin pada
ketidaksengajaan:
Sungguh, teori itu (yakni
bahwa makhluk hidup dirancang oleh sebuah kecerdasan), sudah begitu jelasnya,
sehingga orang bertanya-tanya mengapa teori itu tidak diterima luas, karena
terbukti-benar dengan sendirinya. Sebabnya lebih berupa sebuah alasan kejiwaan
daripada ilmiah.[12]
Apa yang dilukiskan Hoyle
sebagai alasan “psikologis”atau kejiwaan telah menyiapkan kaum evolusionis
untuk mengingkari penciptaan. Semua alasan ini adalah bukti yang cukup bagi evolusionis
Muslim, untuk menganggap evolusi sebagai tidak lebih daripada sebuah teori yang
diciptakan untuk mengingkari Allah.
Seleksi Alam dan Mutasi Tidak Memiliki Daya
untuk Menyebabkan Perubahan Bertahap (Evolusi)
Kaum evolusionis Muslim,
yang mengabaikan fakta bahwa ilmu pengetahuan telah menggugurkan evolusi, juga
menghadapi permasalahan sulit lainnya: pernyataan bahwa 1,5 juta jenis makhluk
hidup di alam muncul sebagai akibat peristiwa alam yang tak-sadar.
Menurut para evolusionis,
sel hidup pertama terbentuk akibat berbagai reaksi kimia dalam zat tak-hidup.
(Marilah kita ingat bahwa cukup banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa hal
ini tidak mungkin. Lebih lagi, para peneliti yang melakukan percobaan
menyatukan gas-gas penyusun lapisan atmosfer awal Bumi, sekaligus berbagai
keadaan lapisan atmosfer yang sesuai, tidak mampu “menghasilkan” satuan blok
pembangun kehidupan yang terkecil sekali pun, yakni protein.[13]) Karena mereka gagal memunculkan organisme hidup, walaupun semua
pengetahuan dan teknologi tersedia bagi mereka, secara ilmiah adalah lebih tak
masuk akal lagi apabila dinyatakan bahwa ketidaksengajaan buta mampu
menghasilkannya.
Evolusi juga menyatakan
bahwa kehidupan berawal dari sel pertama tersebut, yang tumbuh kian rumit, dan
yang semakin lama semakin kaya dan beragam, sampai manusia dihasilkan.
Singkatnya, lanjut teori itu, berbagai pergerakan tak-sadar di alam terus
mengembangkan makhluk hidup. Contohnya, satu bakteri mengandung kode genetik
untuk sekitar 2.000 protein, sementara manusia mengandung kode genetik untuk
sekitar 200.000 protein. Dengan kata lain, suatu pergerakan tak-sadar telah
“menghasilkan” data genetik untuk 198.000 protein baru, seiring dengan
berlalunya waktu.
Itu yang dinyatakan
evolusi. Namun, benarkah alam berisi mekanisme atau pergerakan yang dapat
menambah data genetik pada suatu makhluk hidup?
Teori evolusi modern –
juga dikenal sebagai neo-Darwinisme, yaitu versi perbaikan atas teori asli
Darwin, yang ikut memperhitungkan berbagai temuan terbaru dalam ilmu genetika –
mengusulkan dua mekanisme: seleksi alam dan mutasi.
Seleksi alam berarti bahwa
makhluk yang kuat, dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan alam,
akan memenangkan pertarungan demi mempertahankan hidup, sementara yang lainnya
tersisih dan lenyap. Misalnya, penurunan suhu yang terus-menerus di suatu
wilayah berarti populasi hewan tertentu, yang tidak tahan terhadap suhu rendah,
akan terpangkas. Pada jangka panjang, hanya hewan yang tahan suhu dingin yang
bertahan hidup, dan akhirnya menjadi seluruh populasi.
Contoh lain, dalam kasus
kelinci yang hidup terus-menerus dalam ancaman hewan pemangsa, hanya yang
terbaik menyesuaikan diri dengan lingkup keadaan itu (misalnya, yang dapat
berlari paling cepat), bertahan hidup dan mewariskan ciri atau sifatnya kepada
generasi berikutnya. Akan tetapi, pemeriksaan seksama mengungkapkan bahwa tidak
ada ciri baru yang muncul di sini, karena kelinci ini tidak berubah menjadi
jenis hewan atau spesies yang baru, atau pun memperoleh sifat baru. Jadi, orang
tidak dapat berkata bahwa seleksi alam menyebabkan evolusi.
Karena itu, evolusionis
hanya tinggal memiliki mutasi. Agar pernyataan evolusi dapat diterima, mutasi
harus mampu menambah data genetik pada suatu makhluk hidup. Mutasi dijabarkan
sebagai kesalahan dalam gen makhluk hidup, yang terjadi akibat pengaruh luar
(misalnya, radiasi atau penyinaran,) atau pun akibat kesalahan penyalinan DNA.
Tentu saja, mutasi dapat menyebabkan perubahan, namun perubahan itu selalu
merusak. Dengan kata lain, mutasi tidak bisa mengembangkan makhluk hidup;
bahkan sebaliknya, selalu membahayakannya.
Genetika mencapai kemajuan
besar selama abad ke-20. Dengan mempelajari berbagai penyakit keturunan pada
makhluk hidup, berdasarkan ilmu pengetahuan yang berkembang cepat, para ilmuwan
memperlihatkan bahwa mutasi bukanlah perubahan hayati yang dapat menyumbangkan
sesuatu bagi evolusi. Ini bertentangan dengan pernyataan evolusionis.
Kemajuan-kemajuan dalam genetika khususnya menghasilkan pengetahuan bahwa
sekitar 4.500 penyakit yang diduga sebagai penyakit keturunan sebenarnya
disebabkan oleh mutasi.
Agar dapat diwariskan
kepada keturunan, mutasi harus terjadi pada organ perkembangbiakan
(sel sperma pada lelaki, indung telur pada perempuan). Hanya perubahan genetik
jenis ini yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Banyak penyakit
keturunan disebabkan justru oleh perubahan pada sel-sel tersebut. Mutasi, di
sisi lain, terjadi di organ tubuh lainnya (misalnya, hati atau otak), sehingga
tidak bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Mutasi yang demikian, disebut
“somatik”, menyebabkan banyak penyakit kanker melalui kemunduran dalam DNA sel.
Kanker merupakan salah
satu contoh paling tepat tentang kerusakan yang disebabkan oleh mutasi. Banyak
faktor karsinogenik (penyebab kanker), misalnya zat kimia dan sinar ultra-ungu,
sebenarnya menyebabkan mutasi. Setelah adanya temuan mutakhir tentang gen
onkogenik (pendorong kanker) dan gen pencegah tumor, yang apabila tidak bekerja
dengan benar, mampu menimbulkan kanker, para peneliti menyadari bagaimana
mutasi menyebabkan kanker. Kedua jenis gen ini penting bagi sel untuk
memperbanyak diri, serta bagi tubuh untuk memperbaharui diri. Jika salah
satunya rusak karena mutasi, sel-sel mulai tumbuh tak terkendali dan kanker pun
mulai terbentuk. Kita dapat membandingkan keadaan ini dengan pedal gas yang
macet atau rem yang blong pada sebuah mobil. Dalam kedua kasus tersebut, akan
terjadi tabrakan. Begitu pula, pertumbuhan sel yang tak terkendali akan
menyebabkan kanker, lalu kematian. Jika mutasi merusak gen-gen ini pada saat
kelahiran, seperti dalam kasus retinoblastoma (kanker sel mata), bayi yang
terkena akan segera meninggal dunia.
Kerusakan yang diakibatkan
oleh mutasi pada makhluk hidup tidak terbatas pada contoh-contoh ini saja.
Hampir semua mutasi yang dapat teramati sejauh ini bersifat merusak; hanya
beberapa saja yang tidak berpengaruh apa-apa. Walaupun demikian, kaum
evolusionis, termasuk yang Muslim, masih mencoba mempertahankan anggapan bahwa
mutasi adalah mekanisme yang berlaku dalam evolusi. Jika satu makhluk hidup
memang berubah menjadi makhluk hidup lain, sebagaimana dinyatakan kaum
evolusionis, mestinya terjadi berjuta-juta mutasi yang menguntungkan, dan
terdapat pada semua sel benih dan peranakan.
Ilmu
pengetahuan, seiring dengan kemajuan yang terus-menerus dicapainya, telah
menemukan berjuta-juta mutasi jahat, dan telah mengenali berbagai penyakit yang
diakibatkannya. Akan tetapi, teori evolusi menghadapi kebingungan yang
mengenaskan: para ilmuwan evolusionis tidak bisa menyebutkan satu pun mutasi
yang benar-benar menambah data genetik. Pierre Paul Grassé, seorang ahli
zoologi terkemuka Perancis, penyunting buku 35 jilid Traite de Zoologie,
dan mantan ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Perancis, mengibaratkan mutasi dengan
huruf yang salah diketik saat menyalin naskah tertulis. Dan, sebagaimana huruf
salah ketik, mutasi tidak menambah keterangan; bahkan, merusak data yang sudah
ada. Grassé menyatakan fakta ini dengan cara berikut:
Mutasi, dalam sejarah,
terjadi secara acak. Mutasi tak saling melengkapi satu sama lain, tidak juga
bertambah pada generasi selanjutnya menuju arah tertentu. Mutasi mengubah apa
yang sudah menetap, namun secara kacau dan salah, walaupun bagaimana … Begitu
ada kekacauan, sekalipun kecil, timbul pada makhluk yang tersusun dan teratur,
maka penyakit, lalu kematian, pun mengikuti. Tidak ada jalan tengah yang bisa
tercipta antara gejala kehidupan dan kekacauan.[14]
Menimbang fakta ini,
mutasi, sebagaimana dijelaskan Grassé, “betapa pun banyaknya, tidaklah
menghasilkan evolusi jenis apa pun.” Kita dapat membandingkan akibat mutasi
dengan gempa bumi. Sama seperti gempa bumi, yang tidak membantu membangun atau
memperbaiki sebuah kota melainkan malah memorak-porandakannya, mutasi pun
selalu berpengaruh buruk. Dari sudut pandang ini, pernyataan evolusionis
tentang mutasi adalah sepenuhnya tanpa dasar. (Untuk rincian, lihat The Evolution
Deceit oleh Harun Yahya, Taha Publishers, London, 1999).
Penelitian
Fosil Membuktikan Penciptaan
Melihat fakta-fakta di atas, kemajuan ilmiah menunjukkan bahwa seleksi
alam dan mutasi tidak berdaya evolusi. Karena tidak ada
mekanismenya, evolusi tidak mungkin pernah terjadi di masa lalu. Akan tetapi,
kaum evolusionis masih bersikeras bahwa semua makhluk berevolusi dari satu ke
lainnya, lewat proses yang lambat selama ratusan juta tahun. Kesalahan mereka
disembunyikan dalam jalan pikiran ini, karena jika skenario mereka memang
benar, makhluk tahap peralihan, yang tak terhitung banyaknya, dari rentang
waktu tersebut seharusnya sudah terbentuk. Lebih lagi, kita seharusnya
menemukan sisa-sisa fosilnya.
Pernyataan kaum
evolusionis yang tak masuk akal tampak mencolok dalam setiap perkara. Coba kita
lihat perihal munculnya ikan, yang dikatakan kaum evolusionis, berasal dari
invertebrata (hewan tak bertulang belakang), seperti bintang laut dan cacing
laut. Jika pernyataan ini benar, seharusnya ada contoh makhluk peralihan yang
jumlahnya berlimpah ruah, demi membolehkan terjadinya sebuah evolusi yang
lamban. Dengan kata lain, kita seharusnya dapat melihat sisa fosil dari
berjenis-jenis hewan (spesies) yang memiliki baik ciri-ciri ikan mau pun
ciri-ciri invertebrata. Akan tetapi, walaupun banyak fosil ikan dan
invertebrata ditemukan para ilmuwan, tidak pernah ada fosil makhluk
peralihan, yang dapat membenarkan pernyataan evolusionis, yang ditemukan.
Ketiadaan demikian, pada gilirannya, berarti evolusi tidak pernah terjadi.
(Ternyata, ikan pertama di Bumi muncul di zaman geologis yang sama dengan
invertebrata rumit yang pertama dikenal. Fosil ikan berasal dari 530 juta tahun
yang lampau. [15] Pada saat itu, yang dikenal sebagai zaman Kambrium, semua kelompok utama
hewan invertebrata tiba-tiba muncul di Bumi.)
Walaupun sadar betul akan
hal ini, kaum evolusionis menggunakan cara seperti hasutan atau demagogi dan
bukti palsu, untuk membuat orang percaya pada evolusi.[16] Bahkan Darwin sendiri tahu bahwa catatan fosil tidak mendukung teorinya;
ia cuma berharap bahwa catatan itu akan semakin berlimpah seiring berlalunya
waktu, dan berbagai makhluk tahap peralihan akan ditemukan. Akan tetapi, kaum
evolusionis masa kini tidak lagi memiliki harapan seperti itu. Bahkan mereka
akui, catatan fosil begitu kaya dan sudah memadai untuk mengungkapkan sejarah
kehidupan. Prof N. Heribert Nillson, ahli botani evolusionis yang ternama
berkebangsaan Swedia dari Universitas Lund, mengatakan hal berikut tentang
catatan fosil:
Upaya
saya untuk menunjukkan peristiwa evolusi, melalui sebuah percobaan yang sudah
dilangsungkan selama lebih dari 40 tahun, sudah sepenuhnya gagal … Bahan fosil
kini sudah begitu lengkap, sehingga bahkan dapat disusun berbagai kelas
(makhluk hidup) baru, dan ketiadaan rangkaian makhluk tahap perantara tidak
bisa dijelaskan sebagai akibat kurangnya bahan (fosil). Kekosongan itu
memang ada, (dan) tidak akan pernah terisi. [17]
T.
Neville George, guru besar ilmu paleontologi Universitas Glasgow, menyatakan
bahwa sekalipun catatan fosil sangat berlimpah, bentuk peralihan yang sudah
lama dicari-cari belum juga ditemukan:
Tidak
perlu lagi meminta maaf atas kekurangan dalam catatan fosil. Dalam segi
tertentu, catatan fosil itu sudah demikian berlimpah, hampir tak terkelola, dan
kecepatan penemuan fosil sudah melebihi kecepatan penyusunannya … Meskipun
demikian, catatan fosil tetap saja masih lebih banyak terdiri atas celah dan
kesenjangan. [18]
Para
evolusionis bahkan melangkah terlalu jauh, sampai-sampai mengakui bahwa bukan
saja menyangkal evolusi, catatan fosil juga memberikan bukti ilmiah bagi
kebenaran penciptaan. Misalnya, evolusionis ahli paleontologi Mark Czarnecki
mengakui:
Masalah
besar dalam membuktikan teori ini ialah catatan fosil; jejak-jejak makhluk
hidup yang sudah punah, yang terawetkan dalam lapisan batuan Bumi. Catatan ini
tidak pernah mengungkapkan tanda-tanda adanya makhluk perantara yang diduga
Darwin – bahkan, berbagai jenis makhluk hidup muncul dan menghilang dengan
tiba-tiba, dan kejanggalan ini amat memperkuat paham penciptaan bahwa
setiap jenis makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan ... [19]
Seperti
telah kita lihat, kaum evolusionis menderita kekecewaan mengenaskan menyangkut
makhluk tahap perantara. Tidak ada satu pun penggalian di dunia ini yang telah
menghasilkan jejak adanya bentuk peralihan, sekalipun yang paling samar, sejak
Darwin kali pertama mengajukannya. Temuan itu semua adalah dari jenis yang
seakan bermaksud menghancurkan harapan kaum evolusionis, dan menunjukkan bahwa
makhluk hidup di Bumi muncul tiba-tiba, berkembang sempurna, dan tanpa cela.
Akan
tetapi, sekalipun mengetahui bahwa bentuk peralihan tidak pernah ada, para
ilmuwan evolusionis tak mau meninggalkan teori mereka. Mereka memberikan uraian
berprasangka tentang sejumlah fosil. Dalam karangannya In Search of Deep
Time, Henry Gee, anggota redaksi majalah termasyhur di dunia, Nature,
melukiskan seberapa ilmiah sebenarnya uraian-uraian tentang fosil semacam itu:
…
kita menyusun fosil-fosil dalam suatu urutan yang mencerminkan pemerolehan
bertahap dari apa saja yang kita lihat pada diri sendiri. Kita tidak mencari
kebenaran, kita menciptakannya setelah kejadian, untuk disesuaikan dengan
prasangka kita sendiri … Untuk mengambil sederet
fosil, dan menyatakan bahwa deretan itu melambangkan satu garis keturunan,
bukanlah sebuah dugaan (hipotesis) ilmiah yang dapat diuji, melainkan sebuah
pernyataan yang mengandung keabsahan setara dengan dongeng sebelum tidur – menghibur,
bahkan mungkin berisi pelajaran, namun tidak ilmiah. [20]
Itulah
sebabnya, mengapa mereka yang beriman kepada Allah tidak boleh teperdaya oleh
permainan kata dan kebohongan yang berjubah ilmiah. Salah besar, jika percaya
bahwa sekelompok orang, hanya karena mereka ilmuwan, pasti berkata benar dan
patut dipercaya. Ilmuwan evolusionis tidak punya rasa bersalah menyembunyikan
kebenaran, memelintir fakta ilmiah, dan bahkan membuat bukti-bukti palsu untuk
membela pemikiran mereka. Sejarah Darwinisme penuh dengan contoh semacam itu.
Bila
kita tinjau garis-garis besar Darwinisme yang paling dasar sekalipun, segera
terlihat ketidak-absahan dan landasannya yang lapuk habis. Bila kita periksa
rinciannya, keadaan ini semakin jelas. (Lihat The Evolution Deceit, Taha
Publishers, London, 1999 dan Darwinism Refuted, Goodword Publishers, New
Delhi, 2003 untuk keterangan lebih lanjut.)
Berlawanan
dengan apa yang dinyatakan kaum evolusionis, kita melihat suatu perancangan dan
perencanaan agung dalam ciri semua makhluk hidup dan tak-hidup, ke mana pun
kita memandang. Itulah tanda bahwa Allah telah menciptakan semuanya. Kaum
evolusionis terus mengibarkan perlawanan sia-sianya, karena tidak ingin
menerima kenyataan ini. Sebagai penganut paham materialisme sejati, mereka
sedang mencoba menghidupkan kembali sesosok mayat.
Semua ini membawa ke hanya
satu kesimpulan: Darwinisme menyesatkan orang dari akal sehat, ilmu
pengetahuan, dan kebenaran, serta menggiring mereka ke arah ke cara berpikir
tanpa akal sehat. Orang-orang yang percaya kepada evolusi tak bersedia
mengikuti jalur nalar dan ilmu pengetahuan, dan termakan omong kosong penuh
takhayul yang disampaikan turun-temurun sejak tahun 1880-an saat Darwin masih
hidup. Akhirnya, mereka mulai percaya bahwa ketidaksengajaan atau kebetulan
bisa memainkan peran bersifat ilahiah, walaupun segenap alam semesta penuh
dengan tanda-tanda penciptaan. Cukup melihat satu saja mekanisme tanpa cacat di
langit dan di laut, pada tumbuhan dan hewan, untuk menyadari hal ini.
Mengatakan bahwa semua ini karya ketidaksengajaan merupakan pelecehan nalar,
akal, dan ilmu pengetahuan. Yang diperlukan adalah pengakuan atas kekuatan dan
keagungan Allah, dan setelah itu, penyerahan diri kepadaNya.
Keliru Jika Mengira Charles Darwin Taat Beragama
Sebagian besar kaum
beragama yang mendukung teori evolusi berpendapat bahwa Charles Darwin taat
beragama. Akan tetapi, sungguh mereka keliru, karena di masa hidupnya Charles
Darwin mengungkapkan pandangan buruknya tentang Tuhan dan agama.
Darwin memang percaya
kepada Tuhan semasa mudanya, namun perlahan imannya menipis dan digantikan oleh
paham ateisme di saat usianya setengah baya. Akan tetapi, tidak ia umumkan
fakta ini, karena tidak ingin memancing tentangan, khususnya dari istrinya yang
taat, maupun dari kerabat dekat dan lembaga agama. Dalam bukunya Darwin and
the Darwinian Revolution, ahli sejarah Darwinis Gertrude Himmelfarb
menulis: “Karena itu, gambaran menyeluruh tentang keingkaran Darwin [akan
keberadaanTuhan] tidak dapat diketahui pada karya maupun riwayat
hidupnya yang diterbitkan, namun terlihat hanya dalam versi asli riwayat
hidup tersebut.” [21] Buku Himmelfarb juga mengungkapkan bahwa ketika putra Darwin, Francis,
hendak menerbitkan bukunya The Life and Letters of Charles Darwin, istri
Darwin, Emma, menentang sengit rencana itu, dan tidak hendak memberikan izin,
takut surat-surat itu menimbulkan heboh setelah kematian Darwin. Emma
memperingatkan puteranya untuk membuang bagian-bagian yang langsung mengacu ke
paham tak bertuhan (ateisme). Seluruh keluarga khawatir bahwa pernyataan
seperti itu akan menghancurkan nama harum Darwin. [22]
Menurut ahli biologi Ernst
Mayr, pendiri neo-Darwinisme; “Jelas bahwa Darwin kehilangan imannya di tahun
1836-1839, sebagian besar nyata-nyata sebelum membaca Malthus. Agar tidak
melukai perasaan teman-teman dan istrinya, Darwin sering menggunakan bahasa
ilahiah dalam buku-bukunya, namun banyak bagian dalam buku catatannya yang
menandakan, saat itu ia telah menjadi seorang ‘materialis’.” [23]
Darwin
selalu memerhatikan tanggapan keluarganya, dan sepanjang hidupnya berhati-hati
menyembunyikan gagasannya tentang agama. Ia bertindak demikian, menurut
kata-katanya sendiri, karena:
Beberapa
tahun silam aku sungguh-sungguh dinasehati oleh seorang kawan agar jangan
pernah memasukkan apa-apa tentang agama dalam tulisan-tulisanku jika ingin
memajukan ilmu pengetahuan di Inggris; dan nasehat ini mendorongku untuk tidak
mempertimbangkan pembahasan yang terkait dengan kedua hal itu. Jika sebelumnya
kutahu bahwa dunia akan menjadi sedemikian bebas, mungkin seharusnya aku
bertindak lain. [24]
Sebagaimana
bisa kita lihat dari kalimat terakhir, jika sudah merasa yakin ia tidak akan
memancing tentangan, Darwin tidak akan sedemikian berhati-hati. Ketika Karl
Marx (1818-1883) mengusulkan untuk mempersembahkan Das Kapital
kepadanya, tegas Darwin menolak penghormatan itu dengan alasan beberapa anggota
keluarganya akan merasa sakit hati jika ia dikaitkan dengan buku ateistis
semacam itu. [25]
Akan
tetapi, kita masih bisa mengetahui sikap Darwin terhadap pokok dan kepercayaan
ruhani dan agama, dalam kata-kata kepada sepupunya ini: “Kupikir semua perasaan
manusia dapat ditelusuri sampai ke benihnya pada hewan.” [26]
Darwin
juga menentang pengajaran agama kepada anak-anak karena keyakinannya bahwa
mereka harus dibebaskan dari keyakinan agama[27]
Pandangan
anti-agama ini menurun ke kaum evolusionis masa kini seolah-olah sejenis
warisan. Sama seperti Darwin tidak ingin anak-anak belajar tentang Tuhan selagi
bersekolah, para evolusionis mutakhir menentang mati-matian pengajaran tentang
penciptaan di sekolah-sekolah. Mereka giat berusaha di seluruh dunia agar
penciptaan dikeluarkan dari kurikulum pendidikan.
Paham Tak Bertuhan yang Dianut Darwin
dan Upaya Menyembunyikannya
Darwin membuat pernyataan
berikut tentang ketiadaan imannya, “pengingkaran
[kepada Tuhan] merayapi diriku dengan pelan-pelan sekali, tetapi pada akhirnya
menjadi sempurna …”[28]
Buku yang sama
menggambarkan, bagaimana ayah Darwin mengajaknya bicara secara diam-diam saat
ia akan melangsungkan pernikahan, dan menyarankan agar Darwin menyembunyikan
keraguan imannya dari istrinya. Akan tetapi, sejak semula Emma sadar akan iman
Darwin yang terus menipis. Ketika buku Darwin Descent of Man
diterbitkan, Emma mengakui kepada putrinya tentang pandangan anti-agama buku
itu:
Dalam sepucuk surat yang
ditulisnya pada tahun 1876, Darwin menyatakan bagaimana keyakinannya menipis:
… Kesimpulan ini (paham
bertuhan, atau teisme) kuat di benakku di sekitar saat, sejauh yang dapat
kuingat, kutulis “Origin of Species”; dan sejak itu secara perlahan, dengan
berkali-kali naik-turun, menipis…[30]
Pada saat yang sama, ia
merasa aneh bahwa orang-orang selainnya mesti memiliki kepercayaan agama, dan
menyatakan bahwa manusia, yang diyakininya berasal dari hewan tingkat rendah,
tidak dapat meyakini kepercayaan-kepercayaan itu:
Dapatkah pikiran manusia,
yang kuyakin sepenuhnya, berkembang dari pikiran serendah yang dimiliki hewan
terendah, dipercaya saat menarik kesimpulan agung seperti itu? [31]
Alasan dasar Darwin
mengingkari adanya Tuhan adalah keangkuhan. Kita dapat melihatnya dalam
pernyataan berikut:
Dalam pengertian bahwa
sesosok Tuhan yang mahakuasa dan mahatahu harus mengatur dan mengetahui
segalanya, hal ini mesti diakui; namun, sejujur-jujurnya, aku hampir tidak bisa
mengakuinya. [32]
Dalam sebuah lampiran
singkat yang ditulis tangan pada kisah hidupnya, ia menulis:
Pernyataan Darwin, yang
mengingkari keberadaan Allah dan agama, sesungguhnya mengikuti sebuah pola
pikir yang tak mengenal Allah dari zaman kuno. Ayat Al Qur’an melukiskan
bagaimana mereka yang mengingkari Allah sesungguhnya menyadari bahwa Dia ada,
namun masih juga mengingkariNya karena keangkuhan:
Dan mereka mengingkarinya* karena kezaliman dan
kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka,
perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (QS.An
Naml, 27: 14)
*mukjizat-mukjizat Allah; lihat ayat ke-13.
Hal terpenting di sini
adalah: keyakinan ateisme Darwin adalah yang paling berpengaruh dalam
pembentukan teorinya. Ia memelintir fakta, pengamatan, dan bukti untuk
mempertahankan prasangkanya bahwa kehidupan tidak diciptakan. Saat membaca The
Origin of Species, orang melihat jelas, bagaimana Darwin bersusah-payah menolak
semua bukti penciptaan (misalnya, struktur makhluk hidup yang rumit, bagaimana
catatan fosil mengarah kepada kemunculan seketika, dan berbagai fakta yang
menunjuk seberapa jauh batas kemungkinan makhluk hidup di alam untuk dapat
menjadi berbeda satu sama lain), dan caranya menunda hal-hal yang tidak segera
dapat dijelaskannya dengan mengatakan: “Mungkin hal ini akan terpecahkan suatu
hari di masa datang.” Jika ia ilmuwan yang tak memihak, ia tidak akan
menampakkan sikap taklid atau dogmatis demikian. Gaya dan cara Darwin sendiri
menunjukkan bahwa ia seorang ateis yang memijakkan teorinya pada paham ateisme.
Ternyata, kaum yang tak
mengenal Allah (ateis) telah mendukung Darwin selama 150 tahun terakhir ini,
dan berbagai paham pemikiran anti-agama menyokong Darwin justru karena paham
ateisme yang dianutnya. Oleh sebab itu, dengan menimbang kenyataan ateisme
Darwin, kaum Muslimin tidak boleh keliru mengira ia orang yang taat beragama,
atau setidaknya tidak menentang agama, dan terus mendukungnya, teorinya, serta
semua orang yang sepikiran dengannya. Jika seorang Muslim melakukan hal itu,
berarti ia menempatkan dirinya bersama kaum ateis.
Darwinisme Menggiring Umat Manusia dari
Satu Bencana ke Bencana Lainnya
Di awal buku ini, telah
kita lihat bagaimana kaum evolusionis Muslim memandang Darwinisme sebagai
sebuah kenyataan yang secara ilmiah terbukti, dan mengabaikan wajahnya yang
asli. Darwinisme, yang memberikan dukungan “ilmiah” bagi paham fasisme dan
komunisme, yakni paham pemikiran paling bengis di abad ke-20, berwajah “asli”
yang bahkan lebih kelam.
Paham-paham pemikiran ini,
yang mencapai puncak kekerasannya pada abad lalu, bertanggung jawab atas
revolusi komunis dan tindakan kudeta fasis, juga pertarungan, pertikaian,
perang saudara, dan pembagian dunia menjadi dua blok. Diktator-diktator bengis
seperti Lenin, Stalin, Mao, Pol Pot, Hitler, Mussolini, dan Franco, semuanya
meninggalkan bekas yang menetap. Sekitar 120 juta orang tewas akibat kekejaman
rejim-rejim komunis saja, dan dua perang dunia saja telah meminta tumbal 65
juta jiwa. Perang Dunia II, yang dimulai dengan serbuan Hitler ke Polandia di
tahun 1939, sungguh sebuah bencana bagi kemanusiaan. (Untuk rincian, lihat
buku Harun Yahya, The Disasters Darwinism Brought to Humanity,
Al-Attique Publishers Inc., Ontario, 2001 dan Fascism: Bloody Ideology of
Darwinism, Arastirma Publishing, Istanbul, 2002).
Darwinisme terdapat pada akar pemikiran semua malapetaka politik,
ekonomi, dan akhlak ini, sebab ia memupuk dan memperkuat semua itu.
Paham
Komunisme, Fasisme, dan Darwinisme
Karl Marx dan Friedrich Engels, dua bapak pendiri komunisme,
menyebutkan dalam buku-buku mereka, betapa kuat pengaruh paham Darwinisme pada
mereka. Marx menunjukkan rasa simpatinya kepada Darwin, dengan menghadiahinya
salinan buku Das Kapital yang telah diberinya catatan pribadi. Terbitan
bahasa Jermannya bahkan berisi pesan yang ditulis dengan tangannya sendiri,
sebagai berikut: “Untuk Charles Darwin,
dari seorang pengagum sejati, dari Karl Marx.”
Begitu pentingnya Darwinisme bagi paham komunisme, sehingga segera
setelah buku Darwin diterbitkan, Engels menyurati Marx: “Darwin, yang baru saja kubaca, sungguh bagus.” [34]
Seorang komunis Rusia terkemuka, Georgi Valentinovich Plekhanov,
memandang paham Marxisme sebagai “Darwinisme dalam
penerapannya pada ilmu-ilmu sosial.” [35]
Guru pembimbing paham pemikiran Hitler yang terpenting, sejarawan
Jerman yang rasis Heinrich von Treitshcke, mengatakan: “Bangsa-bangsa tidak bisa makmur tanpa
persaingan ketat, seperti pertarungan demi mempertahankan hidup [gagasan]
Darwin,” [36]yang menunjukkan
asal-muasal kekerasan pada akar-akar Nazisme. Hitler sendiri seorang Darwinis.
Memperoleh ilham dari gagasan “pertarungan demi bertahan hidup” yang dipakai
Darwin, ia memberi judul karyanya yang terkenal Mein Kampf
(Perjuanganku). Pada rapat umum partai di Nuremberg tahun 1933, Hitler
mengumandangkan bahwa: “Ras yang lebih tinggi
memperbudak ras yang lebih rendah … hak yang dapat kita lihat di alam, dan yang
dapat dianggap satu-satunya hak yang dapat terpikirkan, karena berdasarkan ilmu
pengetahuan.” Ini memperlihatkan betapa terpengaruhnya ia oleh Darwin. [37]
Mussolini, pemimpin fasisme Italia, juga menyukai Darwinisme sebagai
pandangan dunia, dan mencoba menggunakannya untuk membenarkan serbuan Italia ke
Etiopia. Franco, diktator Spanyol pada saat itu, juga menunjukkan pemikiran
Darwinis baik dalam teori maupun praktik. (Lihat Harun Yahya, Fascism:
Bloody Ideology of Darwinism, Arastirma Publishing, Istanbul, 2002).
Dengan mengatakan bahwa hidup adalah sebuah pertarungan yang
ditakdirkan untuk dimenangi oleh si kuat, dan si lemah terkutuk untuk kalah,
Darwin membuka jalan bagi kekuatan biadab, kekerasan, perang, pertikaian, dan
pembantaian pada skala besar. Diktator-diktator yang menindas rakyat, di
negerinya sendiri atau di mancanegara, begitu diilhami oleh Darwinisme sehingga
mereka mematut diri dengan ajaran-ajarannya. Dalam pandangan mereka, hukum alam
menghendaki si lemah dihancurkan dan dimusnahkan, dan manusia tidak mesti memiliki
nilai bawaan apa pun, karena ia berasal dari hewan.
Membela Darwinisme Mempermudah
Penyebaran Paham Komunisme
Komunisme merupakan suatu
paham pemikiran yang bersikap bermusuhan, baik dalam segi dasarnya yang berupa
filsafat materialis, maupun telaah sejarah yang disajikannya. Pemikiran ini
mulai dengan mengingkari keberadaan Allah, dan telaah sejarahnya, yang
melukiskan agama sebagai “candu masyarakat”, menyerukan pembasmian agama untuk
menegakkan masyarakat komunis yang diidamkannya.
Karena itu, semua rejim
komunis memerangi agama, menyerang nilai-nilai keagamaan, menghancurkan
berbagai tempat ibadah, dan melarang pelaksanaan kewajiban agama. Rejim di
negara-negara seperti bekas Uni Soviet, Cina, Kamboja, Bulgaria, dan Albania
telah mengikuti kebijakan yang begitu anti-agama sampai-sampai merapat ke
batas, dan kadang sampai, ke pemusnahan ras (genosida).
Darwinisme memainkan peran
penting dalam paham Marxisme tentang kebencian terhadap agama. Darwin
menyumbangkan bagi paham ateisme Marxis, apa yang disebut-sebut sebagai dasar
ilmiah, yang menjelaskan sebab Marx dan Engels merasa amat berterima kasih
kepadanya. Pujian Engels terutama mencolok:
“Ia (Darwin) melontarkan
pukulan paling telak kepada gagasan alam yang bersifat metafisis, dengan
buktinya bahwa semua makhluk organik, tumbuhan, hewan, dan manusia sendiri,
merupakan hasil proses evolusi yang berlangsung jutaan tahun.” [38]
Pertikaian terletak pada
inti filsafat Marxis (materialisme dialektik), yang menyatakan bahwa alam
semesta bekerja menurut hukum benturan antar-lawan. Dengan kata lain,
pertarungan demi bertahan hidup di alam yang dinyatakan Darwin kini diterapkan
pada masyarakat manusia. Darwinisme adalah dukungan terbesar bagi pemikiran
komunisme, yang memandang sejarah manusia sebagai medan perang dan menyiapkan
lahan bagi pertikaian lebih lanjut.
Evolusionis PJ Darlington
menjelaskan bahwa kekerasan adalah akibat alamiah dari kepercayaan pada teori
ini:
Pertama, pementingan diri
sendiri dan kekerasan adalah sifat bawaan dalam diri kita, diwarisi dari moyang
hewan kita yang paling tua … Karena itu, kekerasan adalah alamiah pada manusia;
sebuah hasil evolusi. [39]
Kaum Marxis percaya bahwa
masyarakat akan menerima paham pemikiran mereka, jika mereka membawa masyarakat
agar percaya pada Darwinisme. Mereka begitu mementingkan prinsip Darwin bahwa
“kekerasan dan pertikaian merupakan hukum alam yang tak berubah.” Inilah
sebabnya, semua organisasi teroris berhaluan komunis memberikan pelatihan
berbulan-bulan tentang komunisme, materialisme dialektik, dan Darwinisme kepada
para anggota setianya. Teori Darwin mendorong mereka agar percaya bahwa mereka
sebenarnya hewan, dan bahwa seperti hewan, manusia harus bertarung demi
bertahan hidup. Jadi, banyak pemuda menjadi makhluk mengerikan, yang amat mampu
membunuh dan bahkan menjagal dengan kejam anak-anak dan bayi.
Dengan cara ini, pemikiran
komunis menyebabkan perang gerilya, perang saudara, dan tindakan terorisme
berdarah di banyak negara sepanjang abad ke-20. Itulah sebabnya perang
pemikiran melawan paham Darwinisme adalah begitu penting: Jika Darwinisme
tersingkap sebagai gagasan sesat sebagaimana adanya dan lalu runtuh,
filsafat-filsafat Marxis yang berdasar Darwinisme akan hancur. Karena
Darwinisme berperan begitu penting dalam pemikiran anti-agama komunis, maka
mendukung yang satu sama dengan mendukung yang lain. Mencoba membenarkan
Darwinisme, dengan cara menyelaraskannya dengan agama, dan menyatakan Allah
menggunakan evolusi untuk menciptakan makhluk hidup, adalah sama dengan
membenarkan komunisme. Kaum komunis tahu bahwa agama dan Darwinisme saling
bertentangan, namun berdiam diri saat menghadapi orang beriman yang menyetujui
gagasan penciptaan melalui evolusi, agar kedua paham tersebut dapat menyebar
dengan mudah dan semakin jauh. Yang penting adalah membuka dulu pintu menuju
diterimanya Darwinisme.
Kepercayaan komunis pada
evolusi berasal dari taklid pemikiran mereka. Misalnya, seorang evolusionis
guru besar kimia dan pakar DNA, Robert Shapiro, berkata bahwa pernyataan dasar
teori ini (yaitu, zat tak-hidup mengatur dan menyusun diri serta membentuk DNA
dan RNA) tidak berlandaskan fakta ilmiah sama sekali. Ia melanjutkan:
Karena itu, sebuah prinsip
evolusi lain harus ada untuk membawa kita menyeberangi jurang yang membentang
di antara adonan kimia alamiah yang sederhana dengan pengganda (replikator)
pertama yang berfungsi. Prinsip ini belum dijelaskan secara rinci atau
dipertunjukkan, namun sudah diperkirakan, dan disebut dengan nama-nama seperti
evolusi kimiawi dan penyusunan materi secara mandiri. Keberadaan prinsip ini diterima
tanpa pertanyaan dalam filsafat materialisme dialektik…[40]
Sebagaimana telah
dinyatakan Shapiro, kaum evolusionis terus membela teori evolusi karena
kepatuhan buta kepada filsafat materialis. Ini menandakan bahwa dukungan apa pun
bagi teori ini merupakan juga dukungan langsung bagi filsafat materialis, yang
penyebarannya akhirnya pasti menyiapkan lahan pijakan bagi masuknya paham
komunis ke dalam masyarakat. Kaitan ini mengungkapkan bagaimana paham komunis
memperoleh kekuatannya dari paham Darwinisme.
Kaum Muslimin yang
mendukung teori evolusi perlu memikirkan kebenaran ini. Seorang Muslim tidak
boleh berbagi sudut pandang dengan kaum komunis, yang telah dan terus menjadi
musuh agama yang paling sengit, dan/atau mendukung sebuah pandangan yang
merupakan dasar “ilmiah” bagi paham komunisme. Hal ini semakin penting jika
kita menimbang bahwa komunisme belum mati, tetapi masih bertahan dalam
rejim-rejim tangan besi seperti Korea Utara, dan, yang paling berbahaya, masih
menguasai sistem dan budaya politis negeri Cina, sekalipun pandangannya
seolah-olah “kapitalis”.
Rasisme Darwin
Salah satu segi terpenting
namun paling sedikit diketahui tentang Darwin adalah rasismenya: Darwin
menganggap orang kulit putih Eropa lebih “maju”
daripada ras manusia lainnya. Karena beranggapan bahwa manusia berevolusi dari
makhluk serupa kera, ia berkesimpulan bahwa ada beberapa ras yang lebih
berkembang daripada ras-ras yang lain, dan ras-ras yang lain itu masih memiliki
sifat-sifat kera. Dalam bukunya The Descent of Man, yang ia terbitkan
setelah The Origin of Species, dengan terus terang Darwin menguraikan
“perbedaan besar di antara manusia dari ras-ras yang berlainan.” [41]Dalam bukunya, Darwin
berpendapat orang kulit hitam dan Aborigin Australia adalah setara dengan
gorila, dan menyimpulkan bahwa keduanya, pada saatnya, akan “disingkirkan” oleh
“ras-ras beradab”. Ia mengatakan:
Suatu saat nanti, tidak terlalu lama sampai
ukuran abad, ras-ras manusia yang beradab hampir pasti akan memusnahkan dan
menggantikan ras-ras biadab di seluruh dunia. Pada saat yang sama, kera-kera
antropomorf (mendekati manusia) …. pasti akan punah. Jarak antara manusia dan
padanan-padanan terdekatnya akan lebih lebar, karena hal tersebut akan terjadi
dalam keadaan lebih beradab sebagaimana bisa kita harapkan, bahkan daripada
jarak orang Kaukasia dan beberapa jenis kera serendah babon, tidak seperti
sekarang, antara negro atau pribumi Australia dan gorila. [42]
Gagasan-gagasan Darwin yang tak masuk akal bukan hanya diteorikan,
melainkan juga dianugerahi derajat kehormatan ilmiah dan sosial, yang
memungkinkan semua gagasan itu memberikan “landasan ilmiah” terpenting bagi
paham rasisme. Dengan menganggap makhluk hidup berevolusi dalam pertarungan
demi bertahan hidup, Darwinisme langsung diterapkan dalam ilmu sosial. Disebut
dengan “Darwinisme Sosial”, pemikiran baru ini berpendapat bahwa ras manusia
yang ada saat ini menempati tingkat yang berbeda pada “tangga evolusi”, bahwa
ras Eropa adalah yang paling “maju”, dan bahwa banyak ras lainnya masih
memiliki ciri dan sifat “mirip kera”.
Lebih jauh, Darwinisme tidak berhenti dengan menyediakan landasan bagi
serangan rasis, namun juga membolehkan segala jenis tindakan pemberontakan dan
perusakan. Prinsip “hidup itu pertarungan” ini telah menciptakan pendapat yang
membenarkan penempatan bangsa lain, yang hidup damai di satu negeri yang sama,
ke pusat-pusat penawanan, maupun penggunaan kekerasan dan kekuatan biadab,
perang, maut, dan pembunuhan.
Akan tetapi, Muslim yang menyadari bahwa Allah telah menciptakan
dirinya dan segala yang lain, bahwa Allah telah meniupkan ruhNya ke dalam
dirinya, bahwa dunia adalah tempat bagi kedamaian dan persaudaraan, bahwa semua
orang adalah setara, dan bahwa tiap orang akan diadili di hari kemudian atas semua
perbuatannya di dunia, tak mungkin menganiaya orang lain. Hanya mereka yang
percaya bahwa mereka terwujud oleh ketidaksengajaan, tidak bertanggung jawab
kepada siapa pun, tidak pernah harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan
percaya bahwa dunia adalah tempat bagi pertikaian, yang bisa melakukan tindakan
demikian.
Itulah sebabnya, seorang Muslim harus menyimak nuraninya, sebelum
menerima Darwinisme, dan apa sebabnya ia harus mengerti harga sesungguhnya jika
ia mendukung sebuah teori yang telah ditolak oleh ilmu pengetahuan sendiri.
Kerusakan yang diperbuat Darwinisme atas kemanusiaan sungguh nyata. Kepedihan,
penderitaan, dan pertikaian yang dibawanya sudah begitu dikenal. Seperti telah
kita lihat di sepanjang bab ini, cara orang dibuat agar percaya kepada gagasan
dan pemikiran yang jau dari nalar dan tak masuk akal ini, seharusnya meyakinkan
kita bahwa Darwinisme adalah suatu bahaya besar.
BAB III
ILMU PENGETAHUAN TENTANG
CIPTAAN ALLAH
Sejauh ini, kita telah
meneliti kekeliruan besar yang dibuat para evolusionis Muslim, yang menerima
pernyataan bahwa Allah menggunakan evolusi untuk menciptakan makhluk hidup.
Tidak seperti para evolusionis lain, mereka tidak langsung mengatakan bahwa
kehidupan muncul tanpa sengaja. Akan tetapi, dengan menyatakan bahwa Allah
menggunakan evolusi dalam penciptaan olehNya, mereka suka rela maupun tidak
mendukung Darwinisme dalam beberapa hal. Menurut sudut pandang mereka yang
keliru, Allah pasti telah menggunakan mekanisme evolusi, seperti mutasi dan
seleksi alam.
Akan tetapi, ilmu
pengetahuan telah membuktikan bahwa baik seleksi alam maupun mutasi tidak dapat
menciptakan makhluk hidup baru. Dengan kata lain, keduanya tidak berdaya
evolusi. Mereka yang mendukung gagasan penciptaan lewat evolusi berpendapat
bahwa Allah menggunakan mutasi untuk mengubah data genetis makhluk hidup,
sehingga makhluk itu bisa memperoleh organ yang berguna, atau bahwa pertama
kali Allah menciptakan makhluk-makhluk purba dan lalu menggunakan seleksi alam
untuk mengubahnya menjadi makhluk yang lebih rumit dan menyempurnakannya.
Dengan kata lain, Ia menggunakan seleksi alam untuk menambahkan organ baru,
membiarkan organ yang ada melemah dan berhenti tumbuh, atau bahkan
meniadakannya agar satu makhluk hidup dapat berubah menjadi makhluk hidup lain.
Adalah wajar bagi
orang-orang yang tidak mengetahui perkembangan ilmiah mutakhir untuk
beranggapan semacam itu, khususnya jika mereka ingin mendukung evolusi. Akan
tetapi, pernyataan semacam itu bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah. Lebih
lagi, sebagaimana akan kita lihat, Al Qur’an tidak menyebutkan hal yang
demikian.
Satu hal yang harus
ditegaskan: Allah tentu saja bisa menggunakan evolusi untuk menciptakan makhluk
hidup jika Dia kehendaki. Namun, Al Qur’an tidak berisi tanda-tanda evolusi dan
tidak satu ayat pun mendukung pernyataan evolusionis bahwa makhluk hidup muncul
tahap-demi-tahap. Ilmu pengetahuan juga mengungkapkan kebohongan pernyataan
itu. Karena keadaannya sudah teramat jelas, tidak ada peluang bagi Muslim untuk
membenarkan dukungannya pada pernyataan itu. Alasan yang memungkinkan
terjadinya kekeliruan seperti itu hanyalah kekurangan informasi, rasa rendah
diri saat menghadapi kaum evolusionis, dan kepercayaan bahwa karena jumlah
pendukung evolusi lebih besar, mereka pastilah benar.
Allah Menciptakan Alam Semesta dari Ketiadaan
Allah menciptakan
segalanya, dalam bentuk dan pada waktu yang Dia tetapkan, tanpa menggunakan
contoh apa pun, dan dari ketiadaan. Karena Dia suci dari cacat apa pun, dan
kaya tanpa membutuhkan apa pun, Dia tidak membutuhkan penyebab, sarana, atau
tahap bagi penciptaan olehNya. Tak seorang pun yang boleh teperdaya oleh
kenyataan bahwa segala sesuatu itu terkait dengan sebab dan hukum alam
tertentu. Namun, Allah adalah di atas semua sebab dan hukum, karena Dia yang
menciptakan itu semua.
Allah, Tuhan Bumi dan
langit, bisa saja melenyapkan semua sebab ini jika Dia kehendaki. Misalnya, Dia
dapat menciptakan manusia yang tidak memerlukan oksigen untuk hidup, dan
akibatnya, tidak memerlukan paru-paru. Menimbang hal ini, mengapa “perlu” Dia
menyempurnakan paru-paru, dengan cara membuatnya berevolusi seiring dengan
waktu, atau pun melalui mekanisme lainnya? Karena itu, sepenuhnya keliru
apabila seseorang menganggap bahwa keagungan dan kekuatan Allah dibatasi oleh
nalar dan perasaannya sendiri. Kita dapat memiliki pengetahuan hanya sebatas
yang Dia izinkan.
Allah dapat menggunakan
tahap-tahap tertentu dalam penciptaan olehNya jika Dia kehendaki. Misalnya, Dia
mengeluarkan tumbuhan dari sebutir benih, atau seorang manusia dari pertemuan
sel mani dengan sel telur. Namun tahap-tahap ini, sebagaimana akan kita lihat
nanti, sama sekali tidak berkaitan dengan evolusi, dan tidak memberikan tempat
bagi ketidaksengajaan dan kebetulan. Setiap tahap dalam merekahnya tumbuhan,
atau berubahnya satu sel menjadi seorang manusia “dalam bentuk yang
sebaik-sebaiknya”, terjadi berkat sistem sempurna yang diciptakan oleh
kekuasaanNya yang tak terhingga.
Allah menghendaki dan
menciptakan Bumi dan langit, semua yang berada di antara keduanya, dan semua
makhluk hidup dan tak-hidup. Ini sangat mudah bagiNya, sebagaimana ditunjukkan
dalam Al Qur’an:
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar.
Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu
terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup.
Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu
apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”, maka
jadilah ia. (QS. An Nahl, 16: 40)
Dialah yang menghidupkan dan mematikan, maka
apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”,
maka jadilah ia. (QS. Al Mu’min, 40: 68)
Penciptaan itu mudah bagi
Allah. Sebagaimana diungkapkan ayat-ayat di atas, Dia hanya perlu berfirman
“Jadilah!”, dan dengan begitu menghendaki sesuatu terjadi demikian. Banyak ayat
mengungkapkan bahwa Dia menciptakan alam semesta dan makhluk hidup dalam bentuk
yang sempurna. Kekeliruan besar bagi Muslim, jika menuruti penjelasan yang
dipaksakan di hadapan kebenaran yang sudah terang ini, dan membuat pernyataan
yang seolah benar bahwa Allah memanfaatkan evolusi untuk menciptakan serta
menggunakan mutasi, seleksi alam, dan tahap-tahap peralihan dari kera ke
manusia. Sangat keliru memberikan uraian seperti itu, demi harapan diterima di
kalangan evolusionis, sebab tiada bukti baik dalam Al Qur’an maupun ilmu
pengetahuan.
Allah membuat semua hukum
di alam semesta, dan memberi hukum-hukum itu bentuk yang Dia pilihkan, mewujudkan
apa yang Dia kehendaki dan ketika Dia kehendaki, meliputi segala apa yang ada
di Bumi dan di langit, dan mengatur segalanya dengan kekuasaanNya. Namun,
sebagian orang tidak betul-betul memahami kekuatanNya, sehingga menilaiNya
berdasarkan kekuatan sendiri yang terbatas. Allah mengungkapkan keberadaan
mereka dalam Al Qur’an:
Dan mereka tidak menghormati
Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata: “Allah tidak
menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” … (QS. Al An’aam, 6: 91)
Mereka tidak mengenl Allah dengan
sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.
(QS. Al Hajj, 22: 74)
Dan mereka tidak mengagungkan
Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam
genggaman-Nya pada Hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.
Mahasuci Tuhan dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Az
Zumar, 39: 67)
Berlawanan
dengan apa yang diajukan oleh mereka yang percaya pada penciptaan lewat
evolusi, Allah tidak menciptakan kera dahulu, lalu menyebabkan kera berevolusi
menjadi manusia melalui bentuk-bentuk peralihan yang cacat dengan alat tubuh
yang kurang. Melainkan, sebagaimana diungkapkan Al Qur’an, Allah menciptakan
manusia dalam cara yang paling sempurna:
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. At Tiin, 95: 4)
Dia menciptakan langit dan bumi
dengan (tujuan) yang benar. Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu,
dan hanya kepada-Nya-lah kembali (mu). (QS. At Taghaabun, 64: 3)
Ayat-ayat
di atas merupakan sebagian bukti bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk
sempurna, dengan kata lain, bentuk manusia sekarang. Tentu saja, manusia juga
memiliki sejumlah cacat dan kelemahan, semua itu mengingatkannya akan
kekurangannya di hadapan Tuhannya. Kelainan bentuk dan cacat tubuh adalah bukti
penciptaan yang bertujuan, sebab semua itu berguna sebagai pengingat bagi
mereka yang melihatnya, dan sebagai ujian bagi yang menyandangnya.
Sebagai bentuk dan jenis,
Allah menciptakan semua makhluk hidup dengan seketika dan sempurna, tanpa
memerlukan evolusi sama sekali. Kebenaran nyata ini diungkapkan Al Qur’an:
Dia-lah Allah Yang Menciptakan,
Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling
Baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah yang
Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Hasyr, 59: 24)
Al Qur’an melukiskan
betapa mudah penciptaan itu bagi Allah:
Dan tidakkah Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka
yang diganti sesudah hancur itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta
lagi Maha Mengetahui. (QS.Yaa Siin, 36: 81)
Tidaklah Allah menciptakan dan
membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu, melainkan hanyalah seperti
(menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Luqman, 31: 28)
Hal penting lain yang
terabaikan oleh mereka yang percaya pada penciptaan evolusi, adalah keragaman
bentuk ciptaan Allah. Allah telah mengadakan makhluk hidup yang jauh berbeda
dari manusia dan hewan, misalnya malaikat dan jin. Masalah ini akan dibahas di
halaman-halaman berikut.
Malaikat Bersayap Dua, Tiga, dan Empat
Malaikat adalah makhluk yang selalu mematuhi perintah
Allah. Al Qur’an melukiskan penciptaannya sebagai berikut:
Segala puji bagi Allah Pencipta
langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus
berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga
dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Faathir, 35: 1)
Sebagaimana dapat kita lihat dari penggambaran di atas, bentuk
malaikat jauh berbeda dengan manusia. Allah memerintahkan agar memerhatikan
bentuk-bentuk ciptaan yang berbeda dalam ayat di atas.
Ayat-ayat juga menunjukkan bagaimana malaikat tunduk kepada
perintah Allah dan menaatiNya:
Dan kepada Allah sajalah bersujud
segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan
(juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. Mereka
takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan melaksanakan apa yang
diperintahkan (kepada mereka). (QS. An Nahl, 16: 49-50)
Al Masih sekali kali tidak enggan
menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang
terdekat (kepada Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya dan
menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya. (QS.
An Nisaa’, 4: 172)
Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim, 66: 6)
Selain itu, malaikat diciptakan sebelum manusia. Ternyata,
Allah memberitahu para malaikat ketika Dia akan menciptakan Adam, manusia
pertama, dan memerintahkan mereka bersujud kepadanya.
Pada saat yang sama, Allah memberi Nabi Adam AS,
pengetahuan yang berbeda dengan yang dimiliki para malaikat, dan mengajarkannya
nama-nama benda. Para malaikat tidak memiliki pengetahuan itu. Seperti
dinyatakan Al Qur’an:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.” Mereka menjawab:
“Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu,
Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku
mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan
apa yang kamu sembunyikan?” Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam.” Maka, sujudlah mereka kecuali iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS.
Al Baqarah, 2: 30-34)
Jin Diciptakan dari Api
Seperti malaikat, penampilan jin juga berbeda dari manusia.
Ayat-ayat di bawah ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan dari tanah liat,
sementara jin diciptakan dari api:
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari
api yang sangat panas. (QS. Al Hijr, 15: 26-27)
Dia menciptakan manusia dari
tanah kering seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api. (QS. Ar Rahmaan,
55: 14-15)
Dalam Al Qur’an, Allah juga mengungkapkan tujuanNya
menciptakan manusia dan jin:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz Dzaariyaat, 51: 56)
Jelas dari ayat ini bahwa, walaupun manusia dan jin adalah
makhluk yang amat berbeda, keduanya diciptakan untuk menyembah hanya Allah,
dengan menjalani hidup menggunakan nilai-nilai yang Dia perintahkan. Dia telah
mengungkapkan dalam banyak ayat bahwa malaikat dan jin memiliki sejumlah sifat
yang berbeda dari sifat manusia. Misalnya, keduanya dapat memindahkan benda:
Berkata Sulaiman: “Hai
pembesar-pembesar. Siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa
singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang
berserah diri.” Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang
kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari
tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya (dan) dapat
dipercaya.” (QS. An Naml, 27: 38-39)
Al Qur’an juga menyatakan
bahwa jin, sama seperti malaikat, juga diciptakan sebelum manusia. Ketika
menciptakan Nabi Adam AS, Allah memerintahkan malaikat dan jin bersujud di
hadapan Adam. Setelah itu, Dia mengungkapkan bahwa Setan adalah salah satu jin:
Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah
mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai
perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai
pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis
itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. (QS. Al Kahfi, 18:
50)
Penciptaan itu masalah
mudah bagi Allah, yang dapat menciptakan dari ketiadaan dan tanpa sebab apa
pun. Sama seperti Dia menciptakan malaikat dan jin dalam bentuk-bentuk yang
berbeda dari ketiadaan, Dia juga menciptakan manusia sebagai makhluk yang berbeda
dari ketiadaan dan tanpa perlu evolusi. Hal serupa berlaku untuk makhluk hidup
lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Allah menciptakan semua makhluk hidup ini
seketika dari ketiadaan dan tanpa perlu berevolusi – dengan kata lain, tanpa
mengubah satu makhluk hidup menjadi makhluk hidup lain. Seperti kita lihat
sebelumnya, tahap-tahap yang digunakan Allah dalam penciptaan ini, yang telah
disebutkan di muka, tidak berhubungan dengan ketidaksengajaan atau peristiwa
acak evolusionis, karena masing-masing adalah hasil sistem tanpa cela yang
dimunculkan kekuasaan dan kedaulatan Allah.
Bagaimana Burung yang Dibuat dari
Tanah oleh Nabi Isa Menjadi Hidup
Allah menganugerahi Nabi
Isa AS dengan sifat-sifat metafisik dalam kehidupan di dunia ini, sebagaimana
terbaca dalam: … Al Masih ‘Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia
dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). (QS.
Ali ‘Imran, 3: 45) Beliau datang ke dunia tanpa bapak, berbicara
selagi masih dalam buaian, dan menyembuhkan orang yang sakit secara ajaib.
Lebih lagi, ketika Nabi
Isa AS membuat sebuah benda dari tanah liat berbentuk burung, dan meniupnya,
burung itu menjadi hidup atas izin Allah. Kenyataan ini dituturkan dalam Al
Qur’an:
Dan (sebagai) Rasul kepada Bani
Israil (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu
dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk
kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi
seekor burung dengan seizin Allah …” (QS. Ali ‘Imran, 3: 49)
(Ingatlah), ketika Allah
mengatakan: “Hai ‘Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada
ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan Ruhul Qudus. Kamu dapat berbicara
dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa: dan (ingatlah)
di waktu Aku mengajar kamu menulis, Hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah
pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung
dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung
(yang sebenarnya) dengan seizin-Ku …” (QS. Al Maa-idah, 5: 110)
Allah dapat seketika
menciptakan makhluk hidup dengan cara demikian. Ini salah satu keajaiban
dariNya, dan kebenaran penting yang tidak boleh diabaikan oleh kaum Muslimin
yang mendukung teori evolusi.
Contoh serupa menyangkut
Nabi Ibrahim AS, dan mengungkapkan bagaimana Allah menganugerahi zat tak-hidup
dengan kehidupan:
Dan ( ingatlah ) ketika Ibrahim
berkata : “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku
telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” Allah
berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah
semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkanlah di atas tiap-tiap satu
bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya
mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah, 2: 260)
Bagaimana Istri Nabi Zakaria yang
Mandul Memperoleh Anak
Satu contoh penciptaan yang ajaib adalah tentang kabar
gembira yang diterima Nabi Zakaria AS bahwa istri beliau yang mandul akan
melahirkan seorang anak:
Hai Zakaria, sesungguhnya Kami
memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya,
yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.
Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku
adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur
yang sangat tua.” Tuhan berfirman: “Demikianlah.” … (QS. Maryam, 19: 7-9)
Seperti diungkapkan
ayat-ayat di atas, penciptaan adalah masalah yang mudah bagi Allah, yang tidak
memerlukan adanya penyebab apa pun untuk menciptakan. Dia menganugerahi Nabi
ini dengan seorang putera, dan dengan memerintahkan bahwa hal itu harus
“Jadilah!”, istri sang Nabi seketika hamil. Tuhan kita mengungkapkannya dalam
lanjutan ayat itu:
… Tuhan berfirman: “Hal itu
adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu,
padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.” (QS. Maryam, 19: 9)
Berbagai Contoh Pembangkitan
Kembali dalam Al Qur’an
Penciptaan dan
pembangkitan kembali adalah sepenuhnya di tangan Allah, dan, sama halnya dengan
penciptaan, Dia tidak memerlukan penyebab luar dalam hal pembangkitan. Ada
banyak contoh pembangkitan dalam Al Qur’an.
Al Qur’an mengungkapkan
bahwa setelah mati dan dikuburkan, manusia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat:
Itulah balasan bagi mereka,
karena sesungguhnya mereka kafir kepada ayat-ayat Kami dan (karena mereka)
berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang
hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk
baru?” Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan
langit dan bumi adalah kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka, dan
telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada keraguan
padanya? Maka, orang-orang zalim itu tidak menghendaki kecuali kekafiran. (QS.
Al Israa’, 17: 98-99)
Sebagaimana telah kita
lihat, kaum tak beriman tidak percaya bahwa manusia akan diciptakan kembali
setelah mati dan menyatu dengan tanah. Contoh ini menyatakan secara ringkas
keadaan yang berkaitan dengan teori evolusi. Tuhan kita, Yang akan membentuk
kembali tubuh-tubuh manusia dari ketiadaan pada Hari Kiamat, juga menciptakan
manusia pertama, Nabi Adam, dari ketiadaan. Ayat-ayat ini sangat penting bagi
mereka yang percaya pada Al Qur’an, namun tetap bersikeras untuk percaya
gagasan-gagasan evolusionis.
Dalam kata-kata: ”Dan sesungguhnya kamu
datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada
mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami
karuniakan kepadamu (QS. Al An’aam, 6: 94), Al Qur’an mengacu kepada pembangkitan manusia di Hari Kiamat. Al Qur’an
membuat jelas bahwa penciptaan ini akan sama dengan “penciptaan yang pertama”.
Setiap orang, yang sudah mati dan menyatu dengan tanah, akan dilahirkan kembali
melalui suatu penciptaan ulang di hari kemudian, dan berbentuk manusia. Itulah
sebabnya, penciptaan manusia pertama menyerupai penciptaan itu, dan terjadi
tidak setahap demi setahap, namun seketika dan dalam cara yang ajaib.
Ada banyak contoh pembangkitan dalam Al Qur’an. Misalnya,
Allah mengizinkan umat Nabi Musa AS untuk mengalaminya, saat Dia mematikan
mereka, dan lalu menghidupkan mereka kembali. Ini dijelaskan Al Qur’an sebagai
berikut:
Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah
dengan terang”, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu
menyaksikannya. Setelah itu, Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya
kamu bersyukur. (QS.Al Baqarah, 2: 55-56)
Al Qur’an berisi kisah
serupa yang melibatkan lagi umat Nabi Musa AS. Allah memerintahkan mereka
memukul sesosok mayat dengan daging sapi yang telah disembelih. Sebagaimana
Allah ungkapkan pada ayat di atas, Dia melakukan ini untuk memperlihatkan bahwa
manusia akan dibangkitkan dan untuk memastikan bahwa mereka beriman. Ini jelas
sebuah mukjizat. Akan tetapi, seperti akan kita lihat di bagian ayat
selanjutnya, hati orang-orang itu mengeras lagi setelah mukjizat terjadi:
Dan (ingatlah), ketika kamu
membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah
hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman:
“Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu!”. Demikianlah
Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan
padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti. Kemudian setelah itu
hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara
batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan
diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan
di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan
Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Baqarah, 2:
72-74)
Allah memberikan contoh
lain:
Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya. Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang
mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati? Maka, Allah berfirman kepada
mereka: “Matilah kamu.” Kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.
(QS. Al Baqarah, 2: 242-243)
Al Qur’an menceritakan
contoh lainnya: keadaan yang dihadapi seseorang yang tidak mempercayai
kebangkitan setelah kematian. Menurut ayat ini, Allah menyebabkan orang itu
mati selama 100 tahun dan lalu membangkitkannya. Akan tetapi, sekalipun begitu
lama waktu berlalu, orang itu berpikir ia mati hanya selama sehari atau bahkan
kurang. Ketika kebenaran ini disampaikan kepadanya, ia akhirnya beriman,
sebagaimana kita lihat dalam ayat berikut:
Atau apakah (kamu tidak
memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh
menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini
setelah hancur?” Maka, Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian
menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapa lama kamu tinggal di sini?”.
Ia menjawab: “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah
berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; dan
lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah
kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan
kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang-belulang
keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya
dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah
menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: “Saya yakin bahwa Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah, 2: 259)
Contoh lain menyangkut
sekelompok manusia dalam gua (ashabul kahfi). Yang membedakan kisah ini dengan
kisah-kisah lain adalah, dalam kisah ini mereka tidak dimatikan, melainkan
hanya jatuh tertidur selama lebih daripada usia manusia yang wajar.
Kelompok ini terdiri atas
orang-orang muda yang taat beragama, yang meninggalkan kaumnya dan mengungsi ke
dalam gua, karena kaum itu telah berpaling kepada paham politeisme (bertuhan
banyak) dan penyembahan berhala. Akan tetapi, Allah secara ajaib menyebabkan
mereka tertidur lebih dari 300 tahun di dalam gua, sebagai berikut:
Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun
dalam gua itu. (QS. Al Kahfi, 18: 11)
Dan mereka tinggal dalam gua
mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). Katakanlah: “Allah
lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah
semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya
dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tidak ada seorang pelindung pun bagi mereka
selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya
dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi, 18: 25-26)
Akan tetapi, setelah itu
Allah membangunkan mereka. Kisahnya berlanjut:
Kemudian Kami bangunkan mereka,
agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat
dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu). Kami ceritakan
kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu
adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada
mereka petunjuk. (QS. Al Kahfi, 18: 12-13)
Mereka tidak menyadari
telah tertidur sekian lamanya. Mereka pikir mereka hanya tertidur selama
sehari, atau beberapa jam, padahal sebenarnya selama 309 tahun. Ayat terkait
menyatakan:
Dan demikianlah Kami bangunkan
mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang
di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini) ?” Mereka
menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain
lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berada lamanya kamu berada (di sini). Maka,
suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu
ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah
dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan
janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS. Al Kahfi,
18: 19)
Contoh-contoh sejenis yang
diberikan dalam Al Qur’an secara langsung mengungkapkan bahwa Allah tidak
memerlukan penyebab apa pun dalam penciptaan.
Perilaku Lebah: Kebuntuan Bagi Kaum Evolusionis
Dalam Al Qur’an, Allah mengungkapkan bahwa Dia telah
mengilhami lebah dan memerintahkan kepadanya apa yang harus dilakukannya:
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada
lebah: “Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam)
buah-buahan dan tempuhlan jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari
perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya
terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan. (QS. An Nahl, 16: 68-69)
Seperti kita ketahui,
lebah mengumpulkan serbuk sari dan menghasilkan madu dengan cara mencampur
serbuk sari dengan cairan dari tubuhnya. Untuk menyimpan madu dan membesarkan
anak-anaknya, lebah membentuk sel-sel lilin heksagonal (segi enam) yang
semuanya amatlah teratur, bersudut sama, dan secara umum sama sebangun. Lebah
membangun sarang madu dengan sel-sel itu. Lebih jauh, lebah yang meninggalkan
sarang mencari makan dan selalu kembali ke sana memiliki sistem khusus yang
diciptakan Allah sehingga dapat menemukan jalan pulang.
Bagi seekor serangga,
mengetahui besarnya sudut astakona, menemukan resep lilin dan merancang sistem
yang diperlukan untuk menghasilkannya dalam tubuhnya, dan memasukkan keterangan
itu ke dalam DNA-nya sendiri sehingga anggota sejenisnya di masa depan memiliki
kemampuan yang sama, sudah pasti tidak mungkin.
Sudah sendirinya terbukti
bahwa lebah telah diajarkan semua hal itu oleh kekuasaan yang lebih tinggi.
Dengan kata lain, pengetahuan semacam itu telah diilhamkan dalam dirinya,
sebagaimana diungkapkan ayat-ayat di muka. Allah, Yang Maha Mengetahui,
menjabarkan kepada lebah apa yang harus dikerjakannya, dan lebah bertindak
dalam sepenuhnya penerangan ilham itu. Perilaku sadar sedemikian merupakan
bukti nyata penciptaan.
Penelitian sifat-sifat
serupa pada hewan mengungkapkan rancangan tanpa cacat dan kesadaran lebih
tinggi yang melekat pada makhluk hidup. Hal-hal seperti itu menyempatkan orang
sekali lagi mengerti kekuatan Allah yang tak tertandingi. Dia memiliki daya
menciptakan makhluk apa pun yang Dia kehendaki dan dengan sifat-sifat apa pun
yang Dia kehendaki, memiliki kekuatan tak berbatas, dan Penguasa segala
sesuatu.
Akan tetapi, kaum
evolusionis percaya bahwa sifat-sifat luar biasa makhluk hidup muncul tanpa
disengaja. Menurut pernyataan tak masuk akal ini, lebah belajar menghitung
sudut dan berhasil menularkan pengetahuannya kepada lebah lain secara tidak
disengaja atau kebetulan. Ketidaksengajaan juga mendorong munculnya sistem
tubuh yang menghasilkan lilin dan madu.
Sekadar renungan beberapa
detik saja sudah cukup untuk melihat bahwa jalan cerita khayal seperti itu
adalah jauh dari nalar dan ilmu pengetahuan. Allah menciptakan lebah dan
memberinya kesadaran. Keajaiban penciptaan serupa itu menempatkan kaum
evolusionis ke dalam sebuah kesulitan tanpa jalan keluar.
Nabi Sulaiman Mengerti Bahasa Semut
Telah disinggung di bagian
sebelum ini bahwa kaum evolusionis menganggap makhluk hidup adalah karya
ketidaksengajaan buta dan peristiwa acak. Dalam pandangan mereka, sekalipun
menghadapi fakta bahwa sama sekali tiada bukti yang membenarkan pendapat khayali
ini, hewan tidak memiliki kesadaran. Akan tetapi, ada banyak bukti yang
membantah pernyataan mereka.
Tinjaulah kisah dalam Al
Qur’an tentang Nabi Sulaiman AS dan seekor semut betina. Menurut ayat-ayat Al
Qur’an tersebut, beliau mendengar dan mengerti kata-kata semut itu, sebagaimana
diceritakan ayat-ayat berikut ini:
Hingga apabila mereka sampai di
lembah semut berkatalah seekor semut: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam
sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya,
sedangkan mereka tidak menyadari”; maka dia tersenyum dengan tertawa karena
(mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku, berilah aku ilham
untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan
kepada dua orang ibu-bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau
ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang saleh.” (QS. An Naml, 27: 18-19)
Seperti ditegaskan ayat
ini, seekor semut berkata kepada semut lainnya. Tentu, tidak mungkin makhluk
yang dianggap “diciptakan” oleh ketidaksengajaan dapat memiliki sistem
komunikasi khusus yang membuatnya mampu menyampaikan pesan kepada
masyarakatnya, atau menunjukkan perilaku yang menandakan nalar dan akal.
Makhluk yang mewujud karena kehendak Allah akan menunjukkan perilaku sadar
dengan cara dan rentang yang dikehendaki Allah. Manusia bisa saja bertukar
pikiran dengan makhluk semacam itu, jika Allah menghendakinya.
Hewan-hewan, yang menurut
teori evolusi, diperkirakan tidak memiliki kesadaran, ternyata menampakkan
bukti adanya penalaran yang memadai, sebagaimana kita lihat dalam dua contoh
ini. Mungkin kita tidak bisa mengharapkan kaum Darwinis untuk mengerti sifat
luar biasa pada keadaan ini (Kita kecualikan dari sangkaan apa pun mereka yang
berpikir tulus dan mengikuti petunjuk nuraninya). Akan tetapi, mereka yang
berkata bahwa mereka percaya kepada keberadaan dan kekuasaan Allah, harus
benar-benar memikirkan tanda-tanda semacam itu, sebab semua itu membantah
evolusi. Ini, pada gilirannya, memperlihatkan bahwa evolusi tidak dapat dibela
dengan cara apa pun yang mungkin.
Penciptaan Adalah Sebuah Keajaiban
Mengabaikan kenyataan
bahwa Allah memiliki kekuasaan untuk menciptakan dan menghancurkan berperan
penting dalam menyebabkan sebagian kaum Muslimin percaya kepada evolusi. Kaum
evolusionis Muslim ini ada di bawah pengaruh paham naturalisme, yang menyatakan
bahwa hukum-hukum alam tetap sifatnya dan tak berubah, dan bahwa tak sesuatu
pun dapat berada di luar itu semua. Namun, ini kekeliruan besar. Yang kita
maksudkan dengan “hukum alam” lahir dari tindakan Allah menciptakan dan
mempertahankan benda dalam sebuah bentuk tertentu. Tidak mungkin semua itu
dianggap sebagai sifat-sifat yang muncul dari dalam benda sendiri. Sebagaimana
Allah tegaskan, Dia dapat mengubah hukum-hukum itu kapan saja, dan bertindak di
luar cakupan semua itu.
Kita menyebut tindakan
Allah yang demikian itu sebagai mukjizat (keajaiban). Bahwa sekawanan penghuni
gua yang disebutkan di muka tetap hidup selama lebih dari 300 tahun merupakan
sebuah keajaiban di luar hukum-hukum alam. Mereka, yang Allah matikan dan lalu
hidupkan kembali, adalah juga keajaiban. Setiap peristiwa terjadi karena Allah
menghendakinya terjadi. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batas-batas
hukum tertentu adalah peristiwa “biasa”, sementara selebihnya adalah keajaiban.
Hal yang mesti dimengerti
di sini adalah, Allah tidak dibatasi oleh hukum yang Dia ciptakan. Jika Dia
kehendaki, Dia dapat membalikkan semua hukum alam. Mudah bagi Allah melakukan
hal itu.
Karena sudah terperosok ke
dalam pengaruh paham naturalisme yang membentuk landasan Darwinisme, para
evolusionis Muslim mencoba menjelaskan asal-muasal manusia dan kehidupan
lainnya berdasarkan hukum alam. Mereka percaya bahwa Allah membuat makhluk
hidup terwujud dengan cara penciptaan yang dibatasi oleh hukum alam, dan karena
itu membayangkan bahwa penciptaan disebabkan oleh mutasi, seleksi alam,
pembentukan keragaman (variasi), dan satu makhluk hidup berubah menjadi makhluk
hidup lain. Akan tetapi, salah besar bagi kaum Muslimin untuk menerima jalan
pikiran “naturalis” seperti itu, sebab mukjizat-mukjizat (keajaiban) yang dilukiskan
dalam Al Qur’an nyata-nyata mengungkapkan bahwa cara berpikir demikian adalah
rapuh landasannya.
Apabila kita cermati ayat-ayat yang membahas penciptaan
makhluk hidup dan manusia, kita melihat bahwa penciptaan ini terjadi secara
ajaib dan di luar hukum-hukum alam. Inilah bagaimana Allah mengungkapkan
penciptaan makhluk hidup:
Dan Allah telah menciptakan semua
jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas
perutnya, dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain)
berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya,
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. An Nuur, 24: 25)
Ayat ini merujuk ke
kelompok-kelompok utama makhluk hidup di Bumi (reptil, burung, dan mamalia) dan
mengatakan bahwa Allah menciptakan itu semua dari air. Ditinjau lebih seksama,
kelompok-kelompok ini tidak diciptakan “dari satu kelompok menjadi kelompok
lainnya”, sebagaimana “diramalkan” oleh teori evolusi, namun “dari air”. Dengan
kata lain, semua itu dibentuk secara terpisah dari satu zat yang dibentuk
Allah.
Ilmu pengetahuan
mutakhir juga menegaskan bahwa satu zat tersebut adalah air, penyusun dasar setiap tubuh yang hidup. Tubuh mamalia adalah
kira-kira 70 persen air. Air tubuh setiap makhluk hidup memungkinkan
hubungan di antara sel-sel, maupun hubungan di dalam sel dan antar-jaringan. Sudah disepakati bahwa tiada yang
bisa hidup tanpa air.
Namun, sebagian kaum
Muslimin keliru menafsirkan ayat di atas, dan mencoba memberinya makna yang
lebih sejalan dengan evolusi. Akan tetapi, jelas bahwa fakta penciptaan dari
air sama sekali tidak berkaitan dengan evolusi, karena teori itu tidak
menyatakan bahwa semua makhluk hidup muncul dari air dan berevolusi.
Sebaliknya, teori itu bertahan bahwa makhluk hidup berevolusi dari satu jenis
ke jenis lain, pertentangan yang nyata dengan fakta bahwa semua kelompok
makhluk hidup diciptakan dari air (dengan kata lain, semua itu diciptakan
sendiri-sendiri secara terpisah).
Penciptaan Manusia dari Tanah Liat
Dalam Al Qur’an, Allah mengungkapkan bahwa manusia
diciptakan secara ajaib. Untuk menciptakan manusia pertama, Allah membentuk
tanah liat, lalu meniupkan ruh ke dalamnya:
(Ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari
tanah.” Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.
(QS. Shaad, 38: 71-72)
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (QS. Al
Mu’minuun, 23: 12)
Maka tanyakanlah kepada mereka
(musyrik Mekah): “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang
telah Kami ciptakan itu?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah
liat. (QS. Ash Shaffaat, 37: 11)
Terlihat di sini bahwa manusia tidak diciptakan dari kera
atau makhluk hidup lainnya, sebagaimana kaum evolusionis Muslim inginkan kita
percayai, namun dari tanah liat, suatu zat yang tak-hidup. Allah secara ajaib
mengubah zat tak-hidup itu menjadi manusia dan meniupkan ruh ke dalamnya. Tidak
ada “proses evolusi alamiah” yang bekerja di sini, melainkan penciptaan Allah
yang ajaib dan langsung. Nyatanya, firmanNya sebagaimana berikut ini
memperlihatkan bahwa
manusia diciptakan langsung oleh kekuasaan Allah:
Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah
yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua
tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk
orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shaad, 38: 75)
Singkatnya, Al Qur’an
tidak berisikan kisah “evolusi” penciptaan manusia dan makhluk hidup.
Sebaliknya, Al Qur’an mengatakan bahwa Allah menciptakan semua makhluk secara
ajaib dari zat-zat tak hidup seperti air dan lumpur. Sekalipun demikian,
sejarah Islam menunjukkan bahwa sebagian kaum Muslimin terpengaruhi filsafat
Yunani kuno, maupun oleh anasir-anasir evolusi dan materialis di kalangan
Muslim sendiri, dan lalu mencoba menyesuaikan filsafat itu dengan Al Qur’an.
Ulama dan pembaharu besar Islam, Imam Ghazali (wafat 1111), menanggapi
kecenderungan ini, yang muncul di saat beliau masih hidup, dalam bukunya Tahafut
al-Falasifa (Ketaklurusan Para Filsuf) dan buku lainnya. Akan tetapi,
bersamaan dengan penyebaran teori evolusi selama abad ke-19 dan ke-20, pandangan-pandangan
“penciptaan lewat evolusi” mulai muncul kembali di dunia Islam. Bab selanjutnya
meninjau kekeliruan-kekeliruan yang dibuat sebagian kaum Muslimin yang membela
pandangan-pandangan itu, dan menguraikan ulasan mereka tentang ayat-ayat Al Qur’an
yang mereka gunakan untuk membenarkan kedudukan mereka.
BAB IV
KEKELIRUAN MEREKA YANG
MENGGUNAKAN AYAT-AYAT AL QUR’AN UNTUK ‘MEMBUKTIKAN’ EVOLUSI
Panduan dasar bagi semua
Muslim yang percaya kepada Allah dan Islam adalah Al Qur’an dan Sunnah
(teladan) Nabi SAW. Al Qur’an mengandung banyak ayat tentang penciptaan
kehidupan dan alam semesta. Tidak ada dari ayat-ayat ini yang memberikan tanda,
sekalipun yang paling samar, tentang penciptaan melalui evolusi. Dengan kata
lain, Al Qur’an tidak mendukung gagasan bahwa makhluk hidup berevolusi dari
satu jenis ke jenis lainnya, atau bahwa ada rantai kaitan evolusi di antara itu
semua. Sebaliknya, Al Qur’an mengungkapkan bahwa Allah menciptakan kehidupan
dan alam semesta secara ajaib dengan memerintahkan “Jadilah!” Jika mengingat
bahwa berbagai temuan ilmiah juga menggugurkan evolusi, kita melihat sekali
lagi bagaimana Al Qur’an selalu sejalan dengan ilmu pengetahuan.
Tentu saja, jika Allah
kehendaki, Dia dapat menciptakan apa pun lewat cara evolusi. Namun, tiada tanda
Dia melakukan hal itu dalam Al Qur’an, dan tidak satu ayat pun mendukung
pernyataan evolusionis bahwa jenis makhluk hidup berkembang secara bertahap.
Jika penciptaan terjadi secara demikian, kita seharusnya bisa membaca
rinciannya dalam Al Qur’an. Walaupun semuanya demikian jelas, sebagian kaum
Muslimin yang mendukung paham Darwinisme salah menafsirkan ayat-ayat tertentu,
dengan memberikan makna yang tidak sejalan dengan makna jelas dan tegas yang
sebenarnya dikandung ayat-ayat itu. Untuk membela evolusi dan menyediakan
sejumlah bukti Al Qur’an baginya, makna sejumlah ayat dipelintir, tebak-tebakan
diandalkan, dan tafsir yang berprasangka dibuat. Tentang
orang-orang dalam keadaan berbahaya ini, Allah berfirman yang berikut:
Sesungguhnya di antara mereka ada
segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka
yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan
mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah.” Mereka
berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali ‘Imran, 3: 78)
Mereka yang mengetahui Al
Qur’an namun memelintir makna asli ayat-ayatnya dan sengaja salah menafsirkan
ayat-ayat itu dikatakan berdusta terhadap Allah. Tak seorang Muslim pun suka
rela berbuat demikian, karena terlalu takut akan akibat-akibatnya. Jadi, semua
uraian yang berdasarkan dugaan dan tebakan, khususnya yang dibuat oleh mereka
yang mengetahui Al Qur’an dan apa yang dikatakannya tentang masalah-masalah
sepenting ini, secara akhlak tak bisa diterima. Tentu saja, adalah salah
apabila kita menyamaratakan setiap orang yang menyatakan evolusi selaras dengan
agama, sebab sebagian mereka tidak memikirkan apa makna pernyataan semacam itu,
dan sebagian lain tidak menyadari bahaya-bahaya yang menyurukinya. Sekalipun
demikian, tidak boleh menyesatkan orang lain tentang apa yang dikatakan Al
Qur’an, dengan cara berbicara atas nama Allah, dan mencoba membuktikan evolusi
dengan menggunakan ayat-ayat Al Qur’an. Mereka yang melakukan hal itu harus
meninjau kembali beratnya akibat perbuatan mereka dan menghindarkan diri dari
membuat tafsir dan uraian seperti itu, sebab Allah akan meminta tanggung jawab
mereka atas kata-kata mereka. Tidak hanya mereka memperdaya diri sendiri, namun
juga memperdaya orang-orang yang membaca karya-karya mereka – sungguh tanggung
jawab yang berat.
Pada akar masalahnya
adalah hal ini: kaum Muslimin yang percaya evolusi menerima gagasan tersebut
sebagai fakta ilmiah, sehingga mereka mendekati Al Qur’an dengan anggapan bahwa
Al Qur’an harus menegaskan evolusi. Jadi, mereka memuati setiap kata yang
mungkin memiliki tafsir evolusioner dengan makna yang tak mungkin dikandungnya.
Apabila Al Qur’an dilihat secara utuh, atau bila ayat yang terkait dibaca dalam
kaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, orang dapat melihat bahwa penjelasan
yang ditawarkan itu adalah dipaksakan dan tidak sah.
Dalam bab ini, kita akan
meninjau ayat-ayat yang disajikan oleh kaum Muslimin, yang menerima evolusi,
sebagai bukti evolusi. Kita lalu akan menanggapi berbagai pernyataan mereka,
juga dari Al Qur’an, dan membandingkan semua itu dengan tafsir yang dibuat oleh
para ulama Islam yang terkemuka.
Akan tetapi, kita harus
tetap ingat akan kenyataan dasar berikut ini: Al Qur’an harus dibaca dan
ditafsirkan dalam bentuk yang telah Allah ungkapkan, dengan hati yang tulus
sepenuhnya dan tanpa terpengaruhi gagasan dan filsafat apa pun yang bukan
Islam. Mendekati Al Qur’an dengan cara ini akan mengungkapkan bahwa Al Qur’an
tidak berisi keterangan tentang penciptaan lewat evolusi. Sebaliknya, akan
terlihat bahwa Allah menciptakan makhluk hidup dan segala sesuatu dengan
perintah tunggal “Jadilah!” Jika makhluk setengah-manusia-setengah-kera memang
benar-benar ada sebelum Nabi Adam, Allah akan menerangkannya dengan jelas dan
mudah dimengerti. Fakta bahwa Al Qur’an amat jelas dan amat mudah dimengerti
menunjukkan bahwa pernyataan tentang penciptaan evolusi tidaklah benar.
1. Kekeliruan bahwa
Manusia Diciptakan melalui Tahap-Tahap Evolusi
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal
Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.
(QS. Nuh, 71: 13-14)
Mereka yang mendukung
penciptaan evolusi menafsirkan kata-kata “beberapa tingkatan kejadian” sebagai
“melalui tahap-tahap evolusi”. Akan tetapi, menafsirkan kata bahasa Arab atwaran
sebagai tahap-tahap evolusi, yang tak lebih daripada sebuah pendapat pribadi,
tidak secara umum disepakati oleh semua ulama Islam.
Atwar (suasana, keadaan) merupakan bentuk jamak tawru, dan tidak muncul
dalam bentuk itu pada ayat Al Qur’an yang lain. Tafsiran dunia Islam atas ayat
ini memperlihatkan fakta tersebut.
Dalam tafsirnya, Muhammad
Hamdi Yazir dari Elmali menerjemahkan ayat itu sebagai: “Ia menciptakanmu tahap demi tahap melalui beberapa keadaan.” Dalam uraiannya, ia melukiskan tahap-tahap ini sebagai “tahap-tahap
evolusi”. Akan tetapi, penjelasan ini tidak berkaitan dengan evolusi yang
menyatakan bahwa akar manusia terletak di makhluk hidup lainnya. Nyatanya,
sesudah itu Yazir segera mengatakan bahwa tahap-tahap tersebut adalah:
Menurut
penjelasan yang diberikan Ebus Suud[43], pertama datang unsur-unsur, lalu zat gizi, lalu adonan/campuran, lalu sel
mani, lalu segumpal daging, lalu daging dan tulang, dan ini akhirnya dibentuk
dengan penciptaan yang sepenuhnya berbeda. “Maka Mahasuci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minuun, 23: 14) Tidakkah Allah, Sang Pencipta yang Mahaperkasa, patut dipuja dan
diagungkan? Tidakkah Dia sanggup terus mengangkatmu lebih jauh dengan bentuk
dan penciptaan lain? Atau tidakkah Dia juga bisa menghancurkanmu dan
melemparkanmu ke dalam siksaan yang pedih? Mengapa tidak kaupikirkan semua hal
ini?
Seperti ditunjukkan semua
pernyataan di atas, ayat ini menggambarkan bagaimana manusia mencapai rahim
ibunya sebagai sebuah sel mani, berkembang sebagai janin dan lalu segumpal
daging, dan lalu tumbuh menjadi daging dan tulang sebelum lahir ke dunia
sebagai manusia.
Dalam uraian Imam Tabari,
Surat Nuh: 14 diterjemahkan sebagai “Padahal
Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian”, dan ini ditafsirkan sebagai bermakna “Engkau kali pertama berbentuk
sebutir sel benih, lalu Dia menciptakanmu sebagai segumpal darah, lalu sepotong
kecil daging.” [44]
Omer Basuhi Bilmen
menerjemahkan ayat itu sebagai “Nyatanya, Dia
menciptakanmu melalui aneka tingkatan”,
dan meneruskan dengan tafsir berikut:
Dia
(menciptakan)mu melalui aneka tingkatan. Engkau pertama kali adalah sebutir
benih, lalu setetes darah. Engkau menjadi sepotong daging dan memiliki tulang,
lalu engkau dilahirkan sebagai manusia. Tidakkah semua kejadian dan perubahan,
yang bermacam-macam dan patut dijadikan contoh ini, merupakan bukti cemerlang
akan keberadaan, kekuasaan, dan keagungan Tuhan Penciptaan? Mengapa engkau
tidak memikirkan penciptaan dirimu sendiri? [45]
Sebagaimana kita lihat di
sini, para ulama Al Qur’an Muslim sepakat bahwa penafsiran Surat Nuh: 14
merujuk kepada proses yang terlibat dalam perkembangan manusia dari penyatuan
sel mani dan sel telur. Bahwa ayat tersebut harus ditafsirkan dengan cara ini
adalah jelas dari azas “menafsirkan ayat Al Qur’an
menurut ayat Al Qur’an lainnya”, karena dalam ayat-ayat
lain Allah menjelaskan tahap-tahap penciptaan sebagai apa yang terjadi dalam
rahim ibu. Itulah sebabnya, atwaran harus diterjemahkan dengan cara ini.
Tidak dibenarkan menggunakan kata itu sebagai dukungan bagi teori evolusi, yang
mencoba mengaitkan asal-muasal manusia dengan jenis makhluk hidup lainnya.
2. Kekeliruan Bahwa Al
Qur’an Berisi Isyarat Akan Proses Evolusi
Bukankah sudah datang atas manusia suatu waktu dari masa,
sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS.
Al Insaan, 76: 1)
Orang-orang yang sama
tersebut juga menggunakan ayat ini sebagai bukti evolusi. Dalam terjemahan yang
berdasarkan penafsiran pribadi, ungkapan “saat ia bukan sesuatu yang patut
disebutkan” diungkapkan sebagai pernyataan “keadaan-keadaan sebelumnya, saat
manusia belum menjadi manusia”. Akan tetapi, pernyataan ini sama jauhnya dari
kebenaran dengan pernyataan pertama.
Bagian
berbahasa Arab dari ruas yang digarisbawahi adalah:
Lam
yakum shay’am madzkuuraan
lam
yakun: ia bukanlah
shay’an: sesuatu
madzkuuraan: yang dibicarakan, disebutkan
Mencoba
menggunakan ungkapan ini sebagai bukti evolusi adalah benar-benar memaksakan
kata-kata. Nyatanya, para ulama Al Qur’an tidak menafsirkan ayat ini sebagai
menandakan proses evolusi. Misalnya, Hamdi Yazir dari Elmali membuat uraian
berikut:
Awalnya
adalah berbagai anasir dan mineral, lalu gizi tumbuhan dan hewan – “saripati tanah” (QS. Al Mu’minuun, 23: 12) diciptakan dari semua itu dalam tahap-tahap. Lalu, sesuatu muncul amat
lambat dan bertahap dari sel mani yang disaring dari semua itu. Namun, itu
bukan sesuatu yang disebut manusia. Manusia tidak abadi, begitu juga zatnya;
itu muncul kemudian. Manusia ada lama sesudah permulaan waktu dan penciptaan
alam semesta. [46]
Omer
Basuhi Bilmen menjelaskan ayat itu dengan cara ini:
Ayat-ayat
ini menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk melihat dan mendengar dari
setetes air saat ia belum menjadi, dan Dia telah menetapkan suatu cobaan
baginya … Manusia belum ada pada awalnya, namun diciptakan
belakangan sebagai tubuh dibentuk dari setetes air, tanah, dan lempung. Orang
itu tidak dikenal saat itu, namanya dan mengapa ia diciptakan tak diketahui
oleh penghuni Bumi dan langit. Ia lalu mulai diingatkan bahwa ia memiliki ruh. [47]
Imam Tabari menjelaskan
arti ayat ini sebagai: “Begitu lama waktu telah berlalu sejak masa Adam yang di
masa itu ia bahkan bukan sesuatu yang memiliki nilai atau keunggulan apa pun.
Ia bukan apa-apa selain tanah liat yang lengket dan digubah.” [48]
Karena alasan ini, memandang
ungkapan waktu dalam ayat ini sebagai tenggang waktu evolusi adalah murni
sebuah pendapat pribadi.
3. Kekeliruan bahwa
Penciptaan Dari Air Adalah Tanda Penciptaan Evolusi
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat. (QS. Al Insaan, 76: 2)
Mereka yang membela
penciptaan evolusi mencoba menunjukkan, pernyataan-pernyataan dalam banyak ayat
bahwa manusia diciptakan dari air adalah bukti semua makhluk hidup muncul dari
air.
Akan tetapi, ayat-ayat itu
selalu ditafsirkan oleh para ulama dan pengulas Al Qur’an sebagai merujuk
kepada penciptaan dari bersatunya sel mani dan telur. Misalnya, Muhammad Hamdi
Yazir dari Elmali menguraikan ayat di atas sebagai berikut:
… ia diciptakan dari nutfah
berbentuk air. Nutfah adalah air murni. Ia juga berarti air mani. Nutfah
dan air mani menurut kebiasaan memiliki arti yang sama. Namun, di akhir
Surat Al Qiyaamah, dikatakan “nutfah dalam mani yang ditumpahkan” (QS. Al Qiyaamah,
75: 37), jadi, menyatakan bahwa nutfah itu bagian
dari air mani tersebut. Sebagaimana dikabarkan dalam Sahih al-Muslim,
“Anak tidak berasal dari seluruh cairan itu”.
Dan, hadits itu, membahas setiap bagian kecil dari keseluruhan itu, tidak
mengatakan, “Setiap bagian dari suatu cairan”, melainkan lebih membicarakan
satu bagian dari “keseluruhan cairan itu”, dan bahwa seorang anak
tidak berasal dari keseluruhan cairan, namun hanya dari satu bagian. Nutfah
hanyalah satu bagian murni dari air mani. [49]
Ibnu Tabari menafsirkannya
sebagai berarti, “Kami telah menciptakan keturunan Adam dari percampuran
cairan-cairan pembuahan lelaki dan perempuan.” [50]
Omer
Basuhi Bilmen menjelaskannya dalam cara ini:
… (Kami
menciptakan manusia dari setetes nutfah yang tercampur.) Kami membentuknya
dari cairan lelaki dan perempuan yang tercampur. Ya … Manusia adalah, selama
suatu tenggang waktu, sebuah nutfah, dengan kata lain, air yang amat
jernih dan murni, dan lalu selama tenggang waktu tertentu, sebuah ‘alaq, dengan kata lain, segumpal darah, dan lalu
sebuah mudgha, dengan kata lain, segumpal daging. Kemudian,
tulang-tulang terbentuk dan dibungkus daging, dan menjadi hidup …[51]
Seperti
kita lihat dari penjelasan-penjelasan ini, tidak ada kaitan antara penciptaan
manusia dari “setetes nutfah yang tercampur” dengan pernyataan teori evolusi
bahwa manusia muncul secara bertahap dari sebuah sel tunggal yang berkembang
tanpa disengaja dalam air. Sebagaimana dikatakan semua pakar Al Qur’an
termasyhur, ayat ini menarik perhatian kita kepada fakta penciptaan di dalam
rahim ibu.
Jika kita mencermati sebuah ayat lain, tempat dibahas
tahap-tahap penciptaan manusia, kekeliruan dasar dalam berbagai uraian ini
terungkap dengan jelas:
Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur) maka (ketahuilah), sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada
pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat
bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang
indah. (QS. Al Hajj, 22: 5)
Dalam ayat ini,
tahap-tahap penciptaan manusia dijabarkan. Debu atau tanah, yakni, zat-zat
organik dan anorganik, yang ditemukan dalam bentuk dasarnya di permukaan dan di
dalam bumi, adalah bahan mentah yang mencakup berbagai mineral dan anasir dasar
dalam tubuh manusia. Tahap kedua adalah penyatuan zat-zat ini dalam air mani,
yang dijelaskan Al Qur’an sebagai setetes nutfah yang tercampur. Tetesan ini
berisi sel mani yang memiliki informasi dan susunan genetis yang diperlukan
untuk membuahi telur dalam rahim ibu. Singkatnya, bahan mentah manusia adalah
(tanah/debu) bumi, yang saripatinya dikumpulkan dalam setetes air mani dengan
cara yang akan melahirkan manusia. Setelah tahap air, tahap-tahap perkembangan
manusia di dalam rahim ibu dijelaskan dalam Al Qur’an. Di sisi lain, teori
evolusi memperkirakan adanya berjuta-juta tahap dugaan/hipotetis (sel pertama,
makhluk bersel tunggal, makhluk bersel banyak, hewan tak bertulang belakang,
hewan bertulang belakang, reptil, mamalia, primata, dan tahap-tahap serupa yang
tak terhitung banyaknya) antara timbulnya kehidupan di air sampai ke
pembentukan manusia. Akan tetapi, dalam urutan yang disajikan ayat di atas,
nyata bahwa tidak ada penjelasan yang demikian, sebab manusia mengambil bentuk ‘alaq setelah ia berbentuk setetes air.
Karena alasan ini,
jelaslah bahwa ayat di atas tidak melukiskan tahap-tahap evolusi yang berbeda
yang dilalui manusia, melainkan tahap-tahap penciptaan sejak sebelum dan di
dalam rahim ibu sampai masa tua.
Ayat-ayat lain yang
menyatakan bahwa manusia dan makhluk hidup lainnya diciptakan dari air juga
tidak mengandung arti yang dapat dipakai untuk mendukung evolusi. Ayat-ayat
berikut ini termasuk di antara ayat yang berisi pernyataan semacam itu:
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. Al Anbiyaa’, 21: 30)
Dan Allah telah menciptakan semua
jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas
perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain)
berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya,
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. An Nuur, 24: 45)
Ayat-ayat
di bawah ini jelas menyatakan bahwa “setetes air” itu adalah air mani:
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan
berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani, apabila dipancarkan (min
nuthfatin idzaa tumnaa). Dan bahwasanya Dia-lah yang menetapkan kejadian yang lain (kebangkitan
sesudah mati). (QS. An Najm, 53: 45-47)
Bukankah dia dahulu setetes mani
yang ditumpahkan ke dalam rahim (nuthfatam
mim maniyyiy yumnaa)…? (QS. Al Qiyaamah, 75:
37)
Maka hendaklah manusia
memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang
terpancar (khuliqa mim maa-in dafiqin),
yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. (QS. Ath Thaariq, 86:
5-7)
Sebagian pengulas Al
Qur’an ada yang berpikir bahwa “penciptaan makhluk hidup dari air” mengandung
arti yang sejalan dengan teori evolusi. Akan tetapi, pandangan ini sungguh
lemah. Ayat-ayat itu mengungkapkan bahwa air adalah bahan mentah bagi makhluk
hidup, dengan cara mengatakan bahwa semua makhluk hidup diciptakan darinya.
Nyatanya, biologi mutakhir mengungkapkan bahwa air merupakan unsur paling
mendasar semua makhluk hidup, sebab tubuh manusia kira-kira 70 persennya air.
Air memungkinkan gerakan dalam sel, antar-sel, dan antar-jaringan. Tanpa air,
tidak akan ada kehidupan.
4.
Kekeliruan bahwa Penciptaan Itu yang Pertama dari Tanah Lalu dari Air Berarti
Penciptaan Evolusi
Apakah kamu kafir kepada (Tuhan)
yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia
menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? (QS. Al Kahfi, 18: 37)
Imam
Tabari menguraikan ayat ini sebagai berikut:
...
Apakah engkau hendak mengingkari Allah yang menciptakan ayahmu Adam dari tanah/debu, lalu menciptakanmu dari cairan lelaki dan perempuan, lalu
membungkusmu dalam bentuk manusia? Allah, Dia yang memberimu semua ini dan
menjadikan dirimu seperti saat ini, mewujudkanmu untuk membuatmu makhluk hidup
lain setelah engkau mati dan kembali ke tanah. [52]
Uraian
Omer Nasuhi Bilmen atas ayat yang sama mengatakan:
Apakah
engkau mengingkari Allah Mahaperkasa yang menciptakan Nabi Adam, moyang
bangsamu dan musabab penciptaanmu, (dari tanah/debu), Yang lalu menciptakanmu
dan (membentukmu sebagai lelaki setelah menciptakanmu) dari nutfah dan
setetes mani, Yang mewujudkanmu sebagai manusia lengkap sebagai hasil
tahap-tahap kehidupan yang berbeda? Karena mengingkari hidup sesudah mati sama
dengan mengingkari Allah Mahaperkasa, Yang memberimu kabar bahwa itu akan
terjadi dan Yang memiliki kekuasaan untuk membuatnya terjadi. [53]
Sebagaimana ditunjukkan
oleh para pengulas ini, memakai ayat-ayat sejenis itu sebagai bukti proses
evolusi tidaklah lebih daripada pendapat pribadi murni, sebab dengan cara apa
pun ayat-ayat itu tidak membawa makna yang dilekatkan kaum evolusionis padanya.
Ungkapan penciptaan dari tanah/debu melukiskan penciptaan Nabi Adam, dan
penciptaan dari air merujuk kepada pertumbuhan manusia, mulai dari air mani.
Diperlihatkan dalam ayat berikut ini bahwa Allah menciptakan manusia langsung
dari tanah liat kering. Ayat ini, yang menggambarkan penciptaan Nabi Adam,
tidak membicarakan suatu tahap:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang
manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
(QS. Al Hijr, 15: 28-29)
Jika kisah Al Qur’an
tentang tahap-tahap penciptaan dibaca dengan cermat, sambil mengingat
proses-proses yang berurut, akan segera disadari bahwa pandangan evolusi itu
adalah tidak benar.
Al Qur’an berisi banyak ayat yang menunjukkan bahwa Nabi
Adam AS tidak diciptakan melalui tahap evolusi. Salah satunya berbunyi:
Sesungguhnya misal (penciptaan)
‘Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam
dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah!” (seorang manusia),
maka jadilah dia. (QS. Ali ‘Imran, 3: 59)
Ayat di atas menyatakan bahwa
Allah menciptakan Nabi Adam AS dan Isa AS, dengan cara serupa. Sebagaimana
telah kami tekankan sebelumnya, Nabi Adam diciptakan tanpa orangtua, dari
tanah, dengan perintah Allah “Jadilah!” Nabi Isa juga diciptakan tanpa ayah,
atas kehendak Allah yang diungkapkan lewat perintah “Jadilah!” Dengan perintah
ini, Maryam AS pun mengandung Isa:
Maka ia mengadakan tabir (yang
melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia
menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata:
“Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika
kamu seorang yang bertakwa.” Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini
hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.”
Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak
pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!”
Jibril berkata: Demikianlah. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiKu;
dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat
dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” (QS.
Maryam, 19: 17-21)
Dalam ayat lain yang
merujuk kepada penciptaan dari air dan tanah, bukanlah tahap-tahap evolusi yang
dijelaskan, namun tahap-tahap penciptaan manusia sebelum berada dalam rahim,
selama di dalamnya, dan sesudah dilahirkan.
Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur) maka (ketahuilah), sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan
(ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia
tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah. (QS. Al Hajj, 22: 5)
Dia-lah yang menciptakan kamu
dari tanah kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah,
kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan
hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup
lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian)
supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya). (QS. Al Mu’min, 40: 67)
Dari air mani, apabila
dipancarkan. (QS. An Najm, 53: 46)
5. Kekeliruan Bahwa
Manusia Pertama Diciptakan dalam Waktu yang Lama
(Ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, “Sesunguhnya Aku akan menciptakan manusia
dari tanah” (QS. Shaad, 38: 71)
Kekeliruan lain dalam
penciptaan evolusi berasal dari penafsiran ayat di atas secara salah. Kaum
evolusionis menyatakan bahwa ruas kalimat yang digaris-bawahi di atas
menunjukkan sebuah penciptaan yang lamban dalam waktu lama. Akan tetapi, bahasa
Arab yang asli jelas menegaskan bahwa ini adalah murni pandangan sepihak dan
seluruhnya bertentangan:
“innii khaaliqum basyaram min thiinin” berarti “Aku adalah Dia Yang menciptakan seorang manusia dari
tanah liat.”
Ayat ini tidak mengatakan apa-apa yang
seperti “Aku sedang menciptakan”. Nyatanya, ayat ini berlanjut, “Apabila Aku telah membentuknya dan meniupkan ruhKu
kepadanya, tunduk sujudlah kepadanya!” Jelas dari ayat ini bahwa kata kerja
menciptakan di sini terjadi dalam sekejap.
Sungguh,
tak seorang pun ulama Al Qur’an menerjemahkannya sebagai “Aku sedang
menciptakan”. Misalnya, uraian Suleyman Ates, seorang ulama Muslim Turki,
terbaca:
Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat “Aku akan menciptakan manusia dari tanah liat.”
Allah
mengabari para malaikat bahwa Dia akan menciptakan seorang manusia dari tanah
liat busuk. Setelah mengolah tanah liat ke bentuk manusia dan meniupkan ruhNya
sendiri ke dalamnya, Dia memerintahkan para malaikat agar bersujud di hadapan
manusia itu. Mereka semua bersujud. Hanya Setan yang tidak bersujud kepada
moyang manusia, sambil berkata bahwa ia yang tercipta dari api adalah lebih
baik daripada manusia yang tercipta dari tanah liat.
Imam
Tabari menerjemahkan ayat yang sama sebagai, “Aku
akan menciptakan manusia dari tanah liat”,
dan memberikan uraian ini:
… Allah sekali waktu mengabari para malaikat, “Aku akan
menciptakan seorang manusia dari tanah liat. Selesai Aku menciptakannya,
menetapkan bentuknya, dan meniupkan ruhKu ke dalam dirinya, kalian akan bersujud
kepadanya.” [54]
Mereka yang membela penciptaan evolusi juga mengutip ayat
berikut ini untuk mendukung pendapat bahwa manusia diciptakan melalui sebuah
proses:
Yang
menciptakan segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. (QS. As Sajdah, 32: 7)
Menurut tafsiran mereka,
ungkapan yang digarisbawahi merujuk ke suatu proses, dalam hal ini proses
evolusi. Namun, ungkapan itu sebenarnya sama sekali tidak merujuk ke proses
semacam itu. Sebagaimana telah kami tekankan sepanjang buku ini, sangat banyak
ayat melukiskan dengan rinci penciptaan oleh Allah dari ketiadaan, dan tak satu
pun dari ayat-ayat itu dapat ditafsirkan bermakna penciptaan evolusi. Ayat
berikut menekankan bahwa Allah dalam tindak penciptaan yang berkesinambungan.
Atau siapakah yang menciptakan
(manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula)
yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah
ada tuhan (yang lain)? Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu
memang orang-orang yang benar.” (QS. An Naml, 27: 64)
Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (QS. Al Ankabuut, 29: 19)
Allah menciptakan (manusia) dari
permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkannya) kembali; kemudian
kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Ar Ruum, 30: 11)
Penciptaan yang sinambung
oleh Allah, atas setiap rincian di alam semesta, tidak menyiratkan evolusi.
Seperti tafsir sejenis lainnya, tafsir yang satu ini sangat dipaksakan. Lebih
lagi, jika Al Qur’an dilihat secara menyeluruh, pernyataan serupa akan terlihat
tidak memiliki dasar yang sejati. Omer Nasuhi Bilmen menafsirkan ayat ini
sebagai berarti “…Dia menciptakan Nabi Adam dari tanah,” [55] dan Imam Tabari sebagai “Dia memulai penciptaan Adam dari tanah liat.”[56]
Para evolusionis Muslim mengutip ayat-ayat di bawah ini,
khususnya bagian yang digarisbawahi, untuk mendukung pandangan mereka:
Hai manusia, apakah yang telah
memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah Yang telah
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)
mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun
tubuhmu. (QS. Al Infithaar, 82: 6-8)
Namun, akan memaksakan
makna ayat jika berkata bahwa ayat ini merujuk ke proses evolusi. Nyatanya,
Hamdi Yazir dari Elmali menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
“Allah menciptakanmu. Jelaslah bahwa penciptaan di sini bermakna mengadakan sebelum menyusun
tubuh dan organ-organnya, menetapkan ukuran dan bentuk, serta menyatukan
bagian-bagian. Kita juga diberitahu bahwa keberadaan, saripati dari segala
nikmat, adalah Rahmat dan Kebaikan Ilahiah yang terpenting.
Dia lalu menyusun tubuh
dan organ-organmu. Dikatakan bahwa “Dia menciptakanmu dari
tanah/debu, lalu dari setetes mani, dan lalu menyempurnakanmu sebagai
laki-laki” (QS. Al Kahfi, 18: 37) dan, sebagaimana dalam banyak ayat
lainnya, bahwa manusia itu dibawa ke tahap ruh dapat ditiupkan ke dalam dirinya
secara bertahap; Dia menyusun tubuh, organ-organ, dan kemampuan, serta
memberimu keseimbangan dan kendali. Ada dua tafsiran bebas di sini, satu
berasal dari ‘adl dan yang lain dari ta’dil.
Karena keduanya berarti “menyeimbangkan” dan “mengembalikan ke keadaan wajar”,
beberapa tafsiran telah dibuat, yang menyatakan bahwa “penciptaan sesuai dengan
urutan” telah dibuat sempurna.
Menurut
uraian Muqatil, ungkapan dalam Surat Al Qiyaamah: 4 bahwa “Kami sungguh kuasa menyusun (ulang) jari-jemarinya,” berarti bahwa tubuh manusia berbentuk seimbang dan teratur, sebagaimana
kesesuaian dan rincian organ-organ kembar (misalnya, mata, telinga, tangan, dan
kaki) diketahui dari anatomi (ilmu urai tubuh). [57]
Menurut Abu Ali Farisi,
ungkapan “Dia menyeimbangkanmu” sebenarnya berarti “Dia
membentukmu dalam bentuk yang sebagus-bagusnya, dan dengan ukuran ini memberimu
kemampuan mengerti nalar, gagasan, dan kekuatan, serta memberimu keunggulan
atas tumbuhan dan makhluk hidup lain. Dia membawamu ke tingkat kematangan yang
jauh melebihi makhluk hidup lain di dunia.” Ini
sejalan dengan arti “Apabila Aku telah menyempurnakan bentuknya dan meniupkan
ruhKu ke dalam dirinya” (QS. Al Hijr, 15: 29) dan “melebihkan mereka jauh di atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”
(QS. Al Israa’, 17: 70). Semua ini adalah nikmat
dan kasih sayang dari Allah. [58]
Omer
Nasuhi Bilmen menafsirkan ayat itu seperti ini:
Ya.
Tuhanmu (yang menciptakanmu) memberimu wujud dari ketiadaan (lalu membentukmu),
memberimu organ-organ yang bagus dan sempurna (dan menyeimbangkanmu). Dia
menyeimbangkan organ-organmu, dengan keindahan yang sedap di mata dan susunan
yang alami.[59]
Imam Tabari menyatakan
bahwa Surat Al Infithar: 7 merujuk kepada manusia yang diciptakan dalam satu
perintah:
Hai manusia, Tuhan yang
menciptakanmu membuat penciptaan itu teratur dan menghasilkanmu dalam bentuk
yang sehat, teratur, dan benar. (Dengan kata lain, Dia menciptakan manusia
lengkap dengan tinggi yang tertentu, ukuran yang benar, dan dalam bentuk dan
rupa yang terbaik.) Allah membuatmu dengan kecantikan atau keburukan yang Dia
anggap tepat. [60]
Seperti
dapat dilihat dari ulasan di atas, pernyataan-pernyataannya amat jelas; semua
ayat itu menunjuk ke arah penciptaan lengkap, benar, dan teratur atas manusia
pertama. Pernyataan-pernyataan serupa ternyata dapat ditemukan dalam banyak
ayat lain. Misalnya, Surat As Sajdah: 7-9 mengatakan:
Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari
pati air yang hina (air mani). Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan
kedalam (tubuh) nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. As Sajdah,
32: 7-9)
Kata “penciptaan”
digunakan kali pertama dalam ayat-ayat ini, yang lalu berlanjut dengan
mengatakan bahwa Dia menciptakan mata, telinga, dan hati. Jadi, kita diberitahu
bahwa semua tahap ini terjadi pada waktu yang sama; dengan kata lain, mata,
telinga, dan hati manusia pertama diciptakan bersama-sama, dan ia diciptakan
dalam sesaat. Salah besar jika mengartikan ayat-ayat ini seakan merujuk kepada
evolusi manusia. Nyatanya, para ulama Islam terkemuka semuanya sepakat tentang
tafsir ayat ini. Misalnya, Imam Tabari mengatakan:
…
Dia lalu memunculkan manusia sebagai makhluk lengkap dalam bentuk yang teratur,
kemudian meniupkan jiwaNya ke dalam dirinya, dan membuatnya makhluk yang
berbicara … Dia memberi telinga agar engkau mendengar, mata agar engkau
melihat, dan hati agar engkau membedakan yang benar dan yang salah, dan engkau
wajib bersyukur atas nikmat-nikmat ini... [61]
Tafsir Omer Nasuhi Bilmen
berbunyi: “Tuhan menyusun manusia yang mulai berbentuk, melengkapi tubuhnya
sementara masih dalam rahim ibunya, dan membentuknya dengan cara yang
selayaknya (dan lalu meniupkan ruhNya ke dalam tubuhnya). Dengan kata lain, Dia
memberi manusia kehidupan dan mengilhami daya penting dalam jiwanya … Tuhan
memberimu kuasa (pendengaran) yang amat berguna itu sehingga, berkat itu semua,
engkau dapat mendengar kata-kata yang diucapkan kepadamu, dan menciptakan mata
dan hatimu agar engkau dapat melihat apa-apa di sekelilingmu dan membedakan antara
yang bermanfaat dan yang tidak. Masing-masing hal ini adalah nikmat ilahi yang
agung.”[62]
6. Kekeliruan Bahwa Nabi
Adam Bukan Manusia Pertama
Pernyataan lain yang
diajukan menyangkut penciptaan evolusi adalah Nabi Adam AS mungkin bukan
manusia pertama dan bahkan mungkin bukan manusia. (Kami memohon ampun kepada
Nabi Adam AS). Ayat berikut diajukan sebagai bukti akan hal ini:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah, 2: 30)
Mereka yang mendukung
pernyataan ini berkata bahwa kata kerja bahasa Arab ja’ala dalam
ungkapan “Aku akan menciptakan seorang khalifah” bermakna “mengangkat”. Dengan
kata lain, mereka berpendapat bahwa Nabi Adam bukanlah manusia pertama, namun
ia “diangkat” sebagai khalifah di antara banyak orang. Akan tetapi, dalam Al
Qur’an, kata kerja ini memiliki arti berikut:
Menciptakan, menemukan,
menerjemahkan, membuat, menempatkan, dan menjadikan
Beberapa contoh ayat Al
Qur’an saat ja’ala digunakan adalah:
Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia
jadikan (ja’ala) daripadanya isterinya dan Dia
menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak… (QS. Az Zumar, 39: 6)
Katakanlah: “Dia-lah yang
menciptakan kamu dan memberi kamu (ja’ala) pendengaran,
penglihatan, dan hati. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk, 67:
23)
Dan Allah menciptakan
padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan (ja’ala) matahari sebagai
pelita. (QS. Nuh, 71: 16)
Dan Allah menjadikan (ja’ala)
bumi untukmu sebagai hamparan. (QS. Nuh, 71: 19)
Sebagaimana terlihat pada
ayat-ayat di atas, ja’ala memiliki banyak makna. Lebih lagi, sejumlah
ayat menyatakan bahwa Nabi Adam AS diciptakan dari tanah/debu. Ayat-ayat ini
menegaskan bahwa Nabi Adam AS bukanlah seorang manusia biasa di antara banyak
orang, melainkan bahwa ia memiliki penciptaan yang khusus dan berbeda.
Al Qur’an mengungkapkan fakta penting lainnya tentang Nabi
Adam AS: pemindahannya dari Taman Surga. Dikatakan dalam ayat-ayat:
Hai anak Adam, janganlah
sekali-kali kamu dapat ditipu oleh Setan sebagaimana ia telah mengeluarkan
kedua ibu bapakmu dari Surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu
pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al A’raaf, 7: 27)
Dan Kami berfirman: “Hai
Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya
yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati
pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” Lalu
keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan
semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebahagian kamu menjadi musuh bagi
yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup
sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al Baqarah, 2: 35-36)
Pernyataan ayat-ayat di
atas sungguh-sungguh terang. Allah menciptakan Nabi Adam AS dari tanah/debu.
Nabi Adam AS adalah penciptaan khusus yang muncul, pertama kali dari
keberadaannya di surga, dan lalu dari pemindahannya dari surga. Namun, kaum
evolusionis Muslim mengabaikan kebenaran yang nyata ini, dan bersikeras bahwa
“surga” di sini tidak merujuk kepada Surga di akhirat, namun suatu tempat indah
di Bumi, sekalipun Al Qur’an merinci ciri surga yang di dalamnya Nabi Adam AS
diciptakan. Misalnya, Surga berisi para malaikat dan iblis,
dan para malaikat berbicara kepada Allah. Salah jika menelurkan tafsir yang
dipaksakan, dan mencari bukti evolusi, di saat ayat-ayat tentang masalah ini
begitu jelasnya.
Banyak ayat menyatakan
bahwa semua orang diturunkan dari Nabi Adam AS. Sebagaimana Al Qur’an katakan:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul
(engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” Atau agar kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan
sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah
mereka. Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang
yang sesat dulu?” (QS. Al A’raaf, 7:
172-173)
Nabi Adam
AS adalah manusia pertama dan utusan Allah yang pertama. Ayat-ayat begitu tegas
dan jelas tentang masalah ini, sehingga tidak diperlukan uraian apa pun. Yang
harus dilakukan orang hanyalah membaca Al Qur’an dengan hati yang tulus dan
mendengarkan hati nurani. Allah akan mengungkapkan kebenaran kepada mereka yang
membaca ayat-ayatNya dengan niat tersebut.
7. Kekeliruan Bahwa “Para Moyang”
yang Disebutkan dalam Al Qur’an Merujuk kepada Nenek Moyang Evolusi
Perihal lain yang dicoba tampilkan oleh kaum
evolusionis Muslim sebagai bukti pernyataan mereka adalah ungkapan “para nenek
moyang”, yang muncul dalam beberapa ayat. Menurut tafsir mereka yang keliru,
ungkapan ini merujuk langsung kepada nenek moyang purba manusia. Alasan mereka
untuk ini adalah, kata “nenek moyang” muncul berbentuk jamak dalam Al Qur’an.
Dua ayat terkait berbunyi:
Musa berkata (pula): “Tuhan kamu
dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu.”
(QS. Asy Syu’araa’, 26: 26)
Tidak ada tuhan melainkan
Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan
bapak-bapakmu yang terdahulu. (QS. Ad Dukhaan, 44: 8)
Akan tetapi, ini
pernyataan yang dipaksakan karena penggunaan kata berbentuk jamak itu lumrah
dan pasti tidak bisa digunakan sebagai dasar bagi tafsir evolusionis.
Ungkapan ini muncul dalam
banyak ayat lainnya, di antaranya Surat Al Baqarah: 133. Di sini, “para nenek
moyang” tidak merujuk kepada proses evolusi mana pun, namun kepada
generasi-generasi yang sebelumnya. Dengan cara serupa, istilah “para moyang,
orang-orang sebelum” di masa lalu merujuk kepada generasi-generasi yang silam.
Ungkapan ini tidak berisi makna evolusi:
Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda)
maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan
nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan
kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
(QS. Al Baqarah, 2: 133)
8.
Kesalahan Tentang Bentuk Penciptaan Manusia
Dan
Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia
mengembalikan kamu ke dalam tanah, dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada Hari
Kiamat) dengan sebenar-benarnya. (QS. Nuh, 71: 17-18)
Kaum evolusionis Muslim
melihat ayat ini sebagai landasan teramat penting dalam menentukan dasar
pandangan mereka. Ungkapan “Allah menumbuhkanmu dari
tanah” disajikan sebagai bukti evolusi zat anorganik
(zat tak hidup). Akan tetapi, sebagaimana dengan terang ditunjukkan dalam
tafsir ayat, ungkapan ini menggambarkan penciptaan manusia pertama dari bumi
(tanah). Hamdi Yazir dari Elmali mengajukan tafsir yang senada:
Ada
dua segi ayat. Pertama, mengatakan Dia menciptakanmu dari tanah berarti bahwa
Dia menciptakan ayahmu dari tanah, dan memulai proses penciptaan bangsamu
dengan menciptakannya dari tanah. Kedua, Dia menciptakan kalian semua dari
tanah, sebab Allah menciptakan kita dari zat gizi, dari tumbuhan, dari
bumi/tanah. [63]
Omer
Nasuhi Bilmen mengajukan tafsir ini terhadap Surat Nuh 17-18:
Hai
manusia! Lihatlah ini. Allah membuatmu dari tanah bagai tumbuhan. Dengan kata
lain, “Dia menciptakan Adam, moyangmu, dari tanah, atau anasir utamamu (zigot)
terwujud dari tumbuhan dan beberapa bahan makanan lainnya yang tumbuh di bumi.
Manusia lalu tumbuh dan hidup. (Lalu) hai manusia, Dia akan mengembalikanmu ke
sana. Dengan kata lain: Saat engkau mati, engkau akan kembali ke bumi dan menjadi
bagian dari tanah. (Dan) lalu Dia akan mengeluarkanmu dari kubur dan menggiring
kalian semua ke Hari Kiamat. Semua ini adalah kenyataan. [64]
Uraian Imam Tabari
menyatakan bahwa: “Allah menciptakanmu dari tanah bumi. Dia membuatmu dari
ketiadaan … Dia lalu akan mengembalikanmu ke keadaan asalmu, ke bumi. Engkau
akan kembali ke sebagaimana engkau sebelum diciptakan. Dia bisa membuatmu
kembali hidup dari bumi jika Dia menghendaki.” [65]
Sebagaimana telah kita
lihat dari tafsir para ulama Al Qur’an ini, ayat ini tidak dapat dipakai
sebagai dasar penciptaan evolusi.
Lagi pula, pernyataan
tentang evolusi anorganik tidak memiliki dasar ilmiah. Gagasan bahwa zat-zat
yang tak hidup bisa bersatu membentuk kehidupan merupakan gagasan tak ilmiah
yang tidak diperkuat oleh percobaan dan pengamatan apa pun. Bahkan sebaliknya,
ahli biologi Perancis Louis Pasteur (1822-1895) memperlihatkan bahwa kehidupan
hanya mungkin berasal dari kehidupan. Ini menunjukkan bahwa kehidupan pasti
dengan sengaja diciptakan. Dengan kata lain, Allah menciptakan semua makhluk
hidup. (Untuk rincian lebih jauh tentang bukti ilmiah dan dusta evolusionis
dalam hal ini, silakan merujuk ke Harun Yahya: The Evolution Deceit,
Taha Publishers, London, 1999, dan Darwinism Refuted, Goodword
Publishers, New Delhi, 2003.)
9. Kekeliruan bahwa Al Qur’an Menunjuk ke Seleksi Alam
Salah satu pernyataan evolusi yang paling dasar adalah, seleksi alam
merupakan sebuah daya evolusi. Sebagaimana kita lihat di bab-bab sebelum ini,
seleksi alam adalah dusta evolusionis, yang menyatakan bahwa yang kuat bertahan
dan yang lemah tersingkir seiring waktu.
Akan tetapi, ilmu pengetahuan mutakhir menunjukkan, seleksi
alam tidak memiliki daya evolusi, dan tidak dapat menyebabkan satu jenis
makhluk hidup berkembang, atau pun jenis makhluk hidup baru muncul. Akan
tetapi, fakta-fakta ilmiah ini, yang sengaja diabaikan kaum Darwinis demi
kepentingan materialisnya, juga diabaikan oleh kaum evolusionis Muslim.
Beberapa kelompok Muslim mendukung pandangan taklid Darwinis ini, dan bahkan
mencoba memberikan bukti Al Qur’an yang sangat dipaksakan baginya. Misalnya:
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang
Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali kali tidak ada pilihan bagi mereka.
Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). (QS. Al Qashash, 28: 68)
Ayat ini mengungkapkan mereka yang Allah akan tunjuki jalan
yang lurus serta nabi-nabi yang akan Dia umumkan sebagai utusan. Salah besar
bila mengatakan bahwa ayat ini menunjuk ke seleksi alam evolusi.
Para
ulama Al Qur’an sepakat menyetujui tafsir tersebut. Misalnya, Imam Tabari
mengajukan uraian berikut:
Tuhanmu
menciptakan apa yang Dia kehendaki dari para hambaNya, dan memilih mereka
yang Dia kehendaki untuk mengikuti jalan yang lurus. Mereka tidak berhak
memilih dalam hal ini. Mereka tidak berhak memilih untuk berlaku seperti yang
mereka inginkan…[66]
Ulama
besar Omer Nasuhi Bilmen mengajukan tafsir berikut ini:
Dalam
ayat-ayat suci ini, Allah menyatakan kekuasaanNya dalam penciptaan, bahwa Dia
menyukai dan memilih siapa yang Dia kehendaki, kebijaksanaan dan kekuatanNya,
keesaanNya, kejayaan dan puja-puji milikNya, perintah ilahiahNya, dan bahwa
semua hambaNya akan dipanggil menghadap keberadaan ilahiahNya. Dengan kata
lain, tidak seorang pun dapat menghambat kesukaan dan pilihan sang Mahakuasa
dengan cara apa pun. Apa pun yang hambaNya pilih tidak dengan sendirinya
bermanfaat. Dengan segala puji, Allah tidak wajib menciptakan apa yang mereka
sukai dan pilih. Allah tidak mengirimkan utusan-utusanNya berdasarkan kesukaan
dan pendapat kaum yang Dia kirimi utusan itu, hanya berdasarkan pilihan
ilahiahNya. Hanya Dia yang mengetahui, bagaimana dan dengan cara apa kebaikan
dan kemakmuran akan terwujud. Dia tak bersekutu, tak sesuatu pun bisa ada tanpa
kehendakNya yang abadi, dan kehendak siapa pun tidak dapat menentang ketentuan
dan pilihanNya yang mulia. [67]
Hamdi Yazir dari Elmali menafsirkan ayat itu sebagai
berikut:
Tuhanmu menciptakan dan menetapkan apa yang Dia pilih. Dengan kata lain, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih mereka yang Dia kehendaki dari mereka yang Dia telah ciptakan. Dia menetapkan bagi mereka tugas-tugas seperti
kenabian dan penyampaian pesan. Mereka
tidak memiliki pilihan dalam hal ini. Selain dari yang Allah tentukan, mereka
tidak berhak memilih sekutu atau penyampai kabar lain. [68]
Ayat kedua yang diajukan para
evolusionis Muslim adalah:
Segala puji bagi Allah Pencipta
langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus
berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga
dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Faathir, 35: 1)
Kaum Muslimin serupa
mereka itu menganjurkan ayat ini sebagai bukti pertumbuhan evolusi. Akan
tetapi, mereka harus memelintir makna ayat yang sebenarnya, demi memperoleh
makna demikian. Hal itu juga bertentangan dengan nalar dan akal sehat, karena
ayat itu membahas penciptaan malaikat. Imam Tabari menafsirkan ayat itu sebagai
berikut: “Dia dapat menambah jumlah sayap malaikat sebanyak yang Dia kehendaki.
Dia dapat melakukan hal serupa terhadap makhluk hidup lainnya. Penciptaan dan
perintah ada di tanganNya. “[69]Omer Nasuhi Bilmen sepakat, “Dia begitu berkuasa sehingga Dia menentukan
jumlah sayap dan kekuatan malaikat.” [70]
10. Kekeliruan
Memperlihatkan Al Qur’an sebagai Bukti untuk Mutasi
Sebagaimana seleksi alam,
para evolusionis Muslim menafsirkan secara keliru dan memaksakan ayat-ayat Al
Qur’an saat membahas mutasi. Akan tetapi menganggap bahwa sebuah pergerakan
alamiah, yang tidak berpengaruh apa pun kecuali merusak, bisa menjadi bukti
evolusi merupakan kesalahan yang mengenaskan. Tidak ada pengaruh evolusi dari
mutasi yang pernah teramati. (Untuk perincian lebih jauh mengenai bukti ilmiah
atas hal ini, silakan melihat Harun Yahya: Darwinism Refuted, Goodword
Publishers, New Delhi, 2003 dan Evolution Deceit, Taha Publishers,
London, 1999.) Hal yang penting di sini adalah bukti, yang dicoba diajukan dari
Al Qur’an oleh kaum evolusionis Muslim, yang percaya bahwa mutasi merupakan
mekanisme evolusi. Mereka memelintir habis sejumlah ayat sehingga jauh dari
makna sebenarnya. Ayat-ayat tersebut berbunyi:
Dan jikalau Kami menghendaki pastilah Kami ubah
mereka di tempat mereka berada; maka mereka tidak sanggup berjalan lagi dan
tidak (pula) sanggup kembali. (QS. Yaasin, 36: 67)
Dan sesungguhnya telah kamu
ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami
berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina.”(QS. Al-Baqarah 2: 65)
Maka tatkala mereka bersikap
sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan
kepadanya:” "Jadilah kamu kera yang hina.” (QS. Al A’raaf, 7: 166)
Katakanlah: “Apakah akan aku
beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari
(orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan
dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang
yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat
dari jalan yang lurus. (QS. Al Maa-idah, 5: 60)
Maka Musa menjatuhkan tongkatnya,
lalu seketika itu juga tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya. (QS. Al A’raaf, 7: 107)
Bila
tidak ada orang yang percaya bahwa perlu memelintir dan memaksakan kebenaran demi
menemukan bukti Al Qur’an bagi evolusi, tidaklah mungkin memandang ayat-ayat
itu sebagai bukti apa pun bagi mutasi.
Empat
ayat pertama berbicara tentang mukjizat Allah dalam mengubah tubuh makhluk
hidup. Bahkan subjek pada ayat kelima (yakni, tongkat) tidak hidup, yang
membuat tak mungkin berpendapat bahwa subjek itu mengalami mutasi. Penggambaran
evolusionis Muslim terhadap ayat-ayat ini sebagai bukti evolusi menunjukkan,
betapa zalim, memaksakan, dan tak Islami sebenarnya gagasan penciptaan evolusi.
11. Kekeliruan bahwa Ada
Hubungan Kekerabatan antara Manusia dan Kera dalam Al Qur’an
Satu ayat yang seringkali
keliru ditafsirkan selama debat tentang evolusi, dan yang ditafsirkan oleh
sebagian orang sebagai suatu tanda dari teori itu, adalah ayat mengenai
pengubahan yang Allah lakukan atas sekelompok orang Yahudi sehingga menjadi
kera:
Dan sesungguhnya telah kamu
ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami
berfirman: “Jadilah kamu kera yang hina.” Maka, Kami jadikan yang demikian
itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang
kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al
Baqarah, 2: 65-66)
Ayat ini tidak bisa
ditafsirkan dalam cara yang sejalan dengan teori evolusi, karena:
1) Hukuman yang
dimaksudkan mungkin dalam pengertian rasa keagamaan. Dengan kata lain, mungkin
orang-orang Yahudi tersebut disejajarkan dengan kera dalam pengertian perangai,
dan tidak dalam penampakan jasmaniah yang sebenarnya.
2) Jika hukuman yang
dimaksud terjadi dalam bentuk jasmaniah, itu merupakan keajaiban di luar hukum
alam. Kita di sini berbicara tentang keajaiban di luar kekuatan alam biasa yang
berlangsung seketika atas kehendak Allah, suatu penciptaan yang sadar. Evolusi
menyatakan bahwa makhluk hidup, yang berlain-lainan jenis, beralih dari satu
jenis ke jenis yang lain selama jutaan tahun, secara tanpa disengaja dan
bertahap. Karena alasan inilah, kisah Al Qur’an di atas tidak berkaitan apa-apa
dengan jalan cerita yang diajukan oleh mereka yang mendukung evolusi.
Nyatanya, ayat yang kedua
berbunyi: “Maka, Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa
itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang
yang bertakwa.” Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang tersebut
diubah menjadi kera sebagai peringatan bagi mereka yang akan datang kemudian.
3) Hukuman ini terjadi
hanya sekali dan pada sekelompok orang yang terbatas jumlahnya, sementara teori
evolusi mengajukan jalan cerita yang tak masuk akal dan tak ilmiah bahwa kera
berkerabat dengan semua manusia.
4) Ayat itu mengatakan
bahwa manusia diubah menjadi kera; evolusi mengatakan yang terjadi adalah
sebaliknya.
5) Al Qur’an 5: 60 menceritakan bahwa ada suatu masyarakat
yang telah berlaku menyimpang lalu membangkitkan murka Allah dan diubah menjadi
kera dan babi. Ayatnya berbunyi:
Katakanlah: “Apakah akan aku
beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari
(orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan
dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang
yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat
dari jalan yang lurus. (QS. Al Maa-idah, 5: 60)
Dalam keadaan ini, jalinan
cara berpikir yang keliru yang telah kita tinjau sepanjang buku ini
menghasilkan kesimpulan yang tidak wajar, yakni ayat itu berisi bukan hanya
kaitan rantai evolusi antara manusia dan kera, namun juga antara manusia dan
babi! Evolusionis sekali pun tidak menyatakan ada kaitan demikian antara
manusia dan babi.
Seperti telah kita lihat
sejauh ini, pernyataan bahwa sejumlah ayat Al Qur’an menuju ke arah evolusi
adalah kekeliruan yang bertentangan bukan hanya dengan Al Qur’an, melainkan
juga dengan pernyataan teori evolusi itu sendiri.
BAB V
APA YANG TERJADI JIKA
DARWINISME TIDAK DIANGGAP SEBAGAI SEBUAH ANCAMAN?
Bab-bab sebelumnya telah
menyinggung berbagai kekeliruan, yang telah menyebabkan orang Muslim pendukung evolusi
terperosok. Akan tetapi, masalah lain yang perlu ditinjau adalah bahwa teori
itu mewakili suatu bahaya tersembunyi bagi banyak orang lain, sekalipun mereka
tidak benar-benar mempercayainya.
Orang Muslim yang
menganggap evolusi sebagai teori yang tak berbahaya, sekalipun sangat
berseberangan dengan fakta penciptaan, lalu berdiam diri dan menyaksikannya
berkembang, sebenarnya sedang membantu teori itu mencengkeram masyarakat secara
lebih luas dan lebih kuat. Jadi, mereka sedang membiarkan paham ateisme tumbuh
lebih kuat. Karena alasan ini, kaum Muslimin harus mengerti filsafat yang
mendasari teori ini. Evolusi adalah filsafat materialis yang diungkapkan secara
“ilmiah”. Filsafat materialis, pada gilirannya, sesungguhnya berarti paham
ateisme.
Hal ini berarti setiap
Muslim wajib mengobarkan perang pemikiran melawan ateisme.
Mereka yang Menganggap bahwa Darwinisme
Bukan Ancaman Adalah Keliru
Sebagian kaum Muslimin
berpendapat bahwa evolusi itu adalah masalah masa lalu, dan sudah tak lagi
diterima, dan oleh karena itu, dari sudut pandang Islam, tidak menghadirkan
ancaman nyata. Akibatnya, mereka tidak melihat perlunya menyingkapkan berbagai
pernyataan evolusi yang berupa dusta dan tak ilmiah. Mereka menyatakan bahwa
“Darwinisme sudah mati.”
Akan tetapi, berlawanan
dengan apa yang mereka duga, masih banyak orang yang mendukung evolusi karena
berbagai pengaruh filsafatnya, walaupun secara ilmiah, evolusi sudah runtuh.[71] Para Darwinis masih amat berpengaruh di banyak negara, perguruan tinggi,
berita, dan sekolah. Senyatanya, Darwinisme masih giat di panggung
dunia, dengan menguasai lembaga-lembaga ilmiah, berita internasional, dan
pandangan dunia para penguasa.
Kaum evolusionis dapat
memaksakan tekanan yang cukup besar terhadap dunia ilmiah. Pendapat-pendapat
sepihak diajukan dalam terbitan ilmiah dan media, dan evolusi digambarkan
seakan kebenaran mutlak. Terutama media, yang mempengaruhi sebagian besar
masyarakat, melukiskan setiap tulang fosil yang ditemukan sebagai bukti baru
bagi evolusi. Hal ini didukung oleh para kalangan terpelajar Darwinis di
sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi. Ilmuwan yang percaya kepada
Tuhan dihambat dalam karir mereka, dan, karena menolak Darwinisme, buku dan
ulasan karya mereka tidak diterbitkan. Lebih jauh lagi, mereka dituduh taklid
dan terbelakang. Jika seorang ilmuwan di negara Barat ingin membangun karir
ilmiah, ia harus menutup mata terhadap Darwinisme dan bahkan mendukungnya,
terlepas dari apakah ia ingin atau tidak. Jika tidak, akan sangat sukar baginya
untuk maju dalam pekerjaan pilihannya itu. [72]
Salah seorang ilmuwan
pengecam teori ini yang paling terkemuka adalah Phillips E. Johnson, guru besar
ilmu hukum di Univesitas California-Berkeley dan pemimpin intelektual gerakan Intelligent
Design (Rancangan Cerdas),[73] yang menggambarkan bagaimana teori ini digunakan sebagai senjata melawan
keyakinan yang benar:
Para
pemimpin ilmu pengetahuan melihat diri terjebak dalam pertempuran mati-matian
melawan kaum fundamentalis agama, julukan yang cenderung mereka berikan tanpa
pandang bulu kepada siapa pun yang percaya kepada Sang Pencipta yang berperan
giat dalam urusan duniawi. Para fundamentalis ini dipandang sebagai ancaman
bagi kebebasan yang lepas, dan khususnya sebagai ancaman bagi dukungan
masyarakat terhadap penelitian ilmiah. Sebagai mitos penciptaan paham
naturalisme ilmiah, Darwinisme memainkan peran pemikiran yang sangat diperlukan
dalam perang melawan fundamentalisme. Karena alasan itu, organisasi-organisasi
ilmiah diabdikan untuk melindungi Darwinisme dan bukan mengujinya, dan
kaidah-kaidah penelitian ilmiah telah dibentuk untuk membantu mereka agar
berhasil. [74]
Menggunakan “kediktatoran
intelektual” ini, kaum evolusionis mengubah sejumlah perguruan tinggi menjadi
sarang pendidikan Darwinis, yang menghasilkan lulusan yang percaya bahwa
filsafat materialis adalah ilmu pengetahuan. Mereka berpikir bahwa hak atas
pendidikan harus dirampas dari kaum yang beriman kepada Tuhan. Satu contoh yang
paling mencolok terlihat dalam sikap gusar Ali Demirsoy, seorang evolusionis
dan guru besar Turki, selama debat televisi tentang evolusi. Ia melontarkan
pernyataan yang senada dengan “Tidak seorang pun ilmuwan yang percaya kepada
Tuhan diperbolehkan dalam perguruan tinggi. Saya akan mendepak para mukminin
keluar dari perguruan-perguruan tinggi.” Pernyataan serupa itu nyata-nyata
mengungkapkan sikap berprasangka kaum evolusionis.
Kaum Muslimin mungkin
terlalu berbaik sangka, karena tidak menyadari fakta sebenarnya keadaan ini,
dan karena itu tak mampu membayangkan Darwinisme sebagai ancaman. Akan tetapi,
para materialis dan khususnya Marxis terus mengobarkan perang yang
bersungguh-sungguh melawan agama melalui dukungan “ilmiah” yang mereka peroleh
dari paham Darwinisme. Itulah sebabnya, kaum Muslimin perlu sesegera mungkin
membebaskan diri dari anggapan keliru bahwa Darwinisme sudah berakhir. Pada
saat kaum evolusionis sedang mencanangkan perang pemikiran sedunia melawan
agama, adalah salah jika mengatakan teori itu sudah mati dan memandang
Darwinisme tak berbahaya.
Menghindari Perang Pemikiran Hanya
Memperkuat Darwinisme
Mereka yang berpikir bahwa
Darwinisme sudah mati atau bukan ancaman, yang menyebarkan pikiran itu di
kalangan mereka sendiri, secara sadar atau tidak, membantu teori ini
mendapatkan landasan baru. Saat mereka mengemukakan pendapat ini, orang pun
berpikir bahwa tidak ada bahaya seperti itu. Lebih lagi, ini menghalangi
tumbuhnya kepekaan pemikiran dan ilmiah terhadap propaganda, dusta, dan anjuran
Darwinis, yang berarti langkah-langkah kewaspadaan tidak bisa dilakukan.
Orang yang percaya kepada
evolusi terus mempersiapkan landasan berpijak, sekalipun dengan fakta yang
kedaluwarsa, dan sengit membela teori ini di setiap kesempatan. Mereka mencoba
mempertahankan agar gagasan ini tetap hidup, sekalipun dengan dusta dan
pengaburan makna. Karena tidak menganggap teori ini berbahaya, banyak Muslim
tidak membaca atau mempelajarinya, dan karena itu tidak bisa menanggapi kaum
evolusionis yang berhubungan dengan mereka secara cerdik.
Namun, tidak sulit
mempelajari dan menyerap ketidakabsahan teori ini, sebab teori ini adalah
pendapat dari abad ke-19 yang telah kehilangan semua pembenaran ilmiahnya.
Lebih jauh, data ilmiah tentang asal-muasal alam semesta dan kehidupan –
misalnya, “penyetelan” alam semesta yang amat halus (disebut juga Prinsip
Antropik), kerumitan kehidupan di aras molekul, informasi rumit dalam
asal-muasal kehidupan, dan kemunculan berbagai bentuk kehidupan yang amat
beragam dalam catatan fosil secara tiba-tiba, menandaskan kebenaran fakta
penciptaan. Akan tetapi, selama mereka yang taat tidak berhasil menelaah atau
mempelajari kemajuan ini, mereka akan terus kekurangan pengetahuan untuk
menghadapi evolusionis secara cerdas. Jadi, mereka berupaya untuk menjawab
dengan mantik yang keliru dan contoh serta keterangan yang salah. Sebelum
mempergunakan bahan bacaan berlimpah yang membahas dusta gagasan Darwinis, para
Muslim harus menyadari bahaya yang ada, dan meyakini perlunya perang pemikiran.
Melihat kenyataan ini,
para penganut paham penciptaan (kreasionis) melalui evolusi, yang percaya bahwa
Darwinisme tidak berbahaya, sebenarnya terhitung bertanggung jawab atas sikap
kaum Muslim yang tetap berdiam diri di hadapan kaum Darwinis. Kami katakan ini
karena, sekalipun mereka tidak menganggap faktor kebetulan sebagai sebuah
kemampuan mencipta, dan percaya kepada Allah, mereka tidak memiliki fakta-fakta
yang dibutuhkan untuk melakukan pendekatan yang lambat dan teguh saat
berhadapan dengan berbagai pernyataan evolusionis. Dan karena itu, mereka
mencari jalan tengah antara pernyataan seperti itu dengan kepercayaan mereka
sendiri. Hasilnya, mereka mengajukan gagasan-gagasan semacam “Allah menciptakan
makhluk hidup lewat evolusi” atau “Evolusi sejalan dengan agama.”
Akan tetapi, sebagaimana
telah dijelaskan buku ini, keadaan ini tak bisa diterima siapa pun Muslim yang
sungguh-sungguh percaya kepada Allah. Kaum evolusionis menyatakan mereka bicara
atas nama ilmu pengetahuan, namun sebenarnya mereka berdusta dengan nama ilmu
pengetahuan. Itulah sebabnya, para Muslim tidak boleh menaruh keyakinan kepada
penipuan itu, dengan penampakan luarnya yang “ilmiah”,
namun harus melihat pada pemikiran yang dibela oleh teori itu. Kegagalan dalam
merasakan bangunan dan filsafat tak bertuhan tempat teori ini berpijak, maupun
menganggapnya benar, berarti menyerah kepadanya dan berbagi dosa atas semua
kejahatan yang diakibatkan Darwinisme pada umat manusia. Tanpa sadar, Muslim
serupa itu menimbulkan bahaya besar bagi masyarakat.
Karena itulah, kaum
evolusionis Muslim harus meninjau kembali gagasan-gagasan yang mereka dukung.
Menyerah kepada pihak lawan, sambil mengetahui bahwa teori itu salah, tak
terbukti, dan sepenuhnya tidak amanah, serta mencoba menyesuaikan Islam dengan
Darwinisme merupakan pilihan yang tak bisa diterima. Kita tidak boleh melupakan
bahwa semua Muslim diwajibkan mengobarkan perang pemikiran untuk menjungkalkan
semua gagasan yang mengingkari keberadaan Allah dan menggunakan kebenaran untuk
menghancurkan dusta. Menghindari tanggung jawab, mencari kesamaan pijakan
dengan kaum ateis, dan memberikan kelonggaran bagi pihak lawan atau menyerah
kepada gagasan-gagasan mereka, semuanya adalah kesalahan berat.
Misalnya, dalam suatu
masyarakat tempat paham komunisme menyungkup, tugas seorang Muslim bukanlah
“meng-Islamkan” komunisme. Jalan sedemikian tidak memberi manfaat apa-apa bagi
agama, tetapi cuma melayani kepentingan komunisme. Tugas seorang Muslim adalah
menjungkalkan komunisme sebagai sebuah filsafat, menyerangnya di aras
pemikiran, dan memperlihatkan kebenaran Islam.
Dengan cara serupa,
bukanlah tugas Muslim untuk “meng-Islamkan” Darwinisme, melainkan menjungkalkan
dusta besar itu di aras pemikiran dan memperlihatkan kebenaran penciptaan.
Karena itulah kaum Muslimin harus bertindak secara sadar, dan tidak mendukung
Darwinisme yang merupakan dasar semua filsafat ateis.
Darwinisme Menghadirkan Ancaman pada Masyarakat
Tak seorang pun yang
berpikir secara tak memihak, jujur, dan bebas, dapat benar-benar yakin bahwa
atom-atom yang tak sadar bergabung secara tanpa sengaja, mengatur dan menyusun
diri, dan akhirnya menghasilkan manusia yang berpikir, menalar, merasa,
melihat, mendengar, membangun peradaban, membuat penemuan, menciptakan karya
seni, bergembira, berduka, atau bahkan mempelajari atom-atom yang membentuk
tubuhnya sendiri melalui mikroskop elektron. Tetapi, inilah kepercayaan tidak
masuk akal yang dicekokkan teori Darwin pada masyarakat. Meskipun yang
digunakan adalah peristilahan ilmiah, itulah saripati mantik Darwinis.
Orang-orang yang menerima
“mantik” demikian mulai kehilangan daya urai (analisis) dan penilaian yang
nalar. Setelah menerima skenario yang paling tak mungkin ini seolah amat
mantiki (masuk akal), mereka menjadi tak mampu melihat bukti yang paling nyata
akan iman agama. Mereka ini, yang telah kehilangan kemampuan berpikir serta
melihat kebenaran yang paling nyata, memahami dengan sesungguhnya anjuran dan
propaganda yang mereka menjadi korbannya, dan yang membuta menerima gagasan itu
hanya karena mayoritas orang menerimanya, dapat mudah ditarik ke arah mana pun.
Setelah sampai di tahap itu, orang-orang itu bahkan tidak dapat menggunakan
kecerdasan mereka sendiri, suatu keadaan yang membuat jauh lebih mudah untuk
memberi mereka senjata dan mengirim mereka sebagai teroris, atau meyakinkan
mereka bahwa “Darwin mengatakan orang ini berasal dari ras yang lebih rendah,
jadi, engkau boleh membunuhnya.”
Nyatanya, kerusakan yang
diakibatkan pada kaum muda oleh Darwinisme di banyak negara diperkirakan tidak
dapat diperbaiki. Perusuh sepakbola di Inggris, kaum neo-Nazi di Jerman,
kelompok skinheads (kepala plontos) di Amerika, dan jumlah terbanyak
kaum muda di seantero dunia telah kehilangan semua sifat kemanusiaan. Mereka
ini, yang merupakan pembunuh dan monster, merupakan contoh hidup dari bahaya
Darwinisme. Negara-negara itu mengalami masalah yang mengenaskan dengan kaum
mudanya, sebab para pemuda itu telah menerima pendidikan Darwinis.
Kita harus sadar bahwa
orang yang dibesarkan dengan cara ini tidak akan membawa apa-apa selain bahaya
bagi masyarakat tempat mereka berada. Suatu hari, para pemuda masa kini akan
menjadi dewasa, pemerintah, diplomat, atau guru. Jadi, jika kita berharap
melihat suatu peradaban mutakhir, secara ilmiah maju, dan nalar di masa depan,
kita harus mendidik para pemuda kita dengan sasaran itu selalu di benak kita.
Ini bisa dilakukan hanya jika kita membebaskan pemuda kita dari gagasan dan
dusta Darwinis dan menjelaskan kepada mereka bahwa mereka bukan hewan yang
berevolusi, tetapi diciptakan Allah, memiliki jiwa, dan mempunyai pengetahuan
tertinggi di antara semua makhluk hidup. Dengan kata lain, kita harus
menjelaskan kepada mereka hal yang sesungguhnya.
Jika tahu bahwa mereka
telah diciptakan dengan jiwa dan kesadaran yang mulia dan unggul, kaum muda
akan menyesuaikan perilakunya. Jika diyakinkan bahwa mereka telah berevolusi
dari hewan, berasal dari moyang yang sama dengan kera, dan gagasan sejenis
lainnya, mereka akan melihat kehidupan sebagai sebuah pertarungan dan akan
memakai segala cara untuk memenanginya. Generasi yang cuma mementingkan diri
sendiri dan tak bertanggung jawab, tega melakukan segala kekejaman dan tanpa
mengenal tenggang rasa, cinta, kehormatan, atau pun persaudaraan lalu akan
muncul. Dalam perkara apa pun, mereka akan melihat diri sendiri dan orang lain
pada hakikatnya sebagai tak bernilai, karena percaya bahwa semua manusia
diturunkan dari hewan. Karena percaya tidak ada artinya menjalani hidup yang
berharkat dan berakhlak, mereka akan sesukanya menampilkan segala jenis
kezaliman dan kerusakan akhlak.
Karena itu, apa yang harus
dilakukan adalah memberantas kediktatoran pemikiran dan teori evolusionis di
sekolah-sekolah, buku-buku, pers dan media, tataran sosial – singkatnya, di
mana-mana – dan mengarahkan orang ke penalaran dan pemikiran mendalam yang
diminta baik oleh Al Qur’an maupun ilmu pengetahuan.
KESIMPULAN
Sebagaimana telah
ditekankan buku ini, evolusi dan para pendukungnya terperangkap habis karena
ilmu pengetahuan secara menyeluruh menolak Darwinisme. Para evolusionis
menyadari hal ini dan, akibatnya, ada dalam kepanikan besar. Karena itu, mereka
menyerang siapa saja yang membela kebenaran penciptaan dalam acara-acara
diskusi, debat, dan di mana saja. Namun, karena tidak memiliki jawaban, mereka
hanya mencoba meraih kembali keunggulan bicara.
Mantik “Janganlah kita
mengacaukan agama dengan ilmu pengetahuan, karena iman itu satu hal dan fakta
evolusi adalah hal yang lain” dimaksudkan untuk memecah kesatuan Muslim dan
melemahkan perlawanannya. Pesan mereka sebenarnya yang menganjurkan cara
berpikir ini adalah, “Di sini ada dunia nyata, dan ini bisa dipahami lewat ilmu
pengetahuan, sehingga tidak ada sesuatu yang disebut penciptaan, walaupun
setiap orang adalah merdeka untuk menganut keyakinan pribadinya sendiri.”
Namun, ini juga tipuan yang amat besar, sebab adalah fakta yang jelas bahwa
Allah menciptakan alam semesta dan semua makhluk hidup dan tak-hidup. Setiap
rincian di alam semesta merupakan bukti lagi atas penciptaan olehNya. Dalam
kenyataannya, tiada bukti bagi teori evolusi selain pendapat dan “kepercayaan
pribadi”. Muslim harus waspada akan anjuran penuh tipuan ini yang mencoba
menunjukkan bahwa kebenaran penciptaan juga adalah “kepercayaan
pribadi”.
Anjuran sedemikian dengan
mudah dikalahkan, sebagaimana kita baca dalam ayat berikut:
Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil
lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu
lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat
sifat yang tidak layak bagi-Nya). (QS. Al Anbiyaa’, 21: 18)
Di balik upaya sebagian
kaum Muslimin untuk menyatukan evolusi dan agama, terdapat keraguan,
kepasrahan, kekurangan informasi, dan ketakpastian yang mereka rasakan saat
menghadapi evolusi. Tetapi, kepasrahan itu sama sekali tidak perlu karena kaum
evolusionis tidak memiliki dukungan atau bukti ilmiah untuk mempertahankan
teori ini. Mereka memakai hasutan karena sikap bersikeras taklid demi teori
mereka, dan mencoba membungkam lawan-lawan mereka dengan cara-cara tekanan
psikologis atau kejiwaan. Kedudukan mereka sebenarnya tidak memiliki harapan.
Para evolusionis Muslim
tidak bisa melihat hal ini karena tidak menyadari kemajuan-kemajuan terbaru
dalam ilmu pengetahuan. Orang yang kekurangan informasi terkini tentang perihal
ini tentu percaya bahwa teori evolusi adalah benar. Akan tetapi, kekurangan
informasi dapat mudah diatasi dengan cara membaca buku dan berbagai terbitan
lain tentang perihal tersebut. Kaum Muslimin yang memiliki informasi rinci
tentang teori evolusi tidak bisa tetap berdiam diri atau ragu-ragu di hadapan
berbagai pernyataan evolusionis. Seiring dengan itu, merenung tentang
penciptaan Allah dan seni tanpa cela yang menyungkupi alam semesta, berpegang
teguh pada Al Qur’an, dan memahami sifat kebenaran yang diungkapkan Al Qur’an
adalah cara-cara termudah untuk membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh itu.
Banyak Muslim mungkin
telah menerima dan bahkan membela evolusi karena alasan-alasan yang telah
dikemukakan sepanjang buku ini. Akan tetapi, akhlak Islami menghimbau setiap
Muslim agar kembali ke jalan yang benar saat menyadari bahwa ia telah tersesat.
Mendukung pemikiran Darwinis sebelum menyadari bahaya besar yang dapat
diakibatkannya sama sekali tidak sama dengan meneruskan dukungan setelah
menyadari bahayanya bertindak begitu. Orang bisa mendukung teori tanpa
mengetahui tingkat bahaya atau ketidak-absahan ilmiahnya. Akan tetapi, sekali
telah mempelajari kebenaran masalah ini, hal yang paling baik dan bermanfaat
untuk dilakukan orang adalah langsung bertindak dan mendukung perang pemikiran
melawan teori jahat ini. Allah memerintahkan para Muslimin:
Adapun orang-orang yang kafir,
sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para
muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya
akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al Anfaal,
8: 73)
Mereka
menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al Baqarah, 2: 32)
CATATAN KAKI
1. Lester J. McCann, Blowing
the Whistle on Darwinism (1986), h. 99 (kutipan diambil dari Randy Wysong, The
Creation-Evolution Controversy (1976), h. 28-29)
2. Arda Denkel, Cumhuriyet
Bilim Teknik Eki (Suplemen Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Cumhuriyet), 27
Februari 1999, h.15 (Penebalan oleh Harun Yahya)
3. Sejumlah pengecam
Darwinisme masa kini paling terkemuka adalah Michael Behe (ahli biokimia),
Michael Denton (ahli biokimia), Jonathan Wells (ahli biologi), William Dembski
(matematikawan), Charles Taxton (ahli biokimia), dan Dean Kenyon (ahli biologi
molekuler). Banyak ilmuwan lain yang berpandangan menentang Darwinisme dapat
dihubungi melalui lembaga-lembaga sejenis The Discovery Institute, The
Intelligent Design Network, atau The Institution for Creation Research. (Untuk
rincian selanjutnya, lihat Harun Yahya: The Al Qur’an Leads the Way to
Science, Nickleodeon Books, Singapura, 2002)
4. David Skjaerlund, Philosophical
Origins of Evolution, http:
//www.forerunner.com/forerunner/x0742-philosophical-origin.html
5. http:
//www.candleinthedark.com/anaximander.html
6. http:
//buglady.clc.uc.edu/biology/bio106/earlymod.htm
7. David Skjaerlund, Philosophical
Origins of Evolution,
http:/www.forerunner.com/forerunner/x0742-philosophical-origin.html
8. http:
//buglady.clc.uc.edu/biology/bio106/earlymod.htm
9. Maurice Manquat, Aristote
naturaliste, Paris: Librairie Philosophique, J. Vrin, 1932, h. 113
10. Sir Fred Hoyle &
Chandra Wickramasinghe (Guru Besar Astronomi Universitas Cambridge, Guru Besar
Astronomi dan Matematika Terapan Universitas College), Cardiff Evolution
from Space, J. M. Dent, 1981, h.141, 144
11. Pierre-Paul Grasse, Evolution
of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h.103
12. Fred Hoyle, Chandra
Wickramasinghe, Evolution from Space, Dent, London, 1981, h.130
13. Jalan cerita evolusi
yang terkait dengan asal-muasal kehidupan disebut teori evolusi kimiawi. Tak
terhitung jumlah percobaan yang dilakukan selama abad ke-20 gagal mendukung
teori ini. Percobaan Stanley Miller, percobaan yang paling terkenal, mencakup “penciptaan”
atmosfer purba dugaannya dan diikuti pembentukan beberapa asam amino. Akan
tetapi, belakangan diketahui bahwa atmosfer purba jauh lebih bermusuhan
terhadap senyawa organik (hidup) dibandingkan dengan perkiraan Miller. Tak
seorang pun pernah berhasil meniru perakitan protein, blok pembangun kehidupan
yang sebenarnya, dalam percobaan “evolusi kimiawi” mana pun. Untuk lebih rinci,
lihat Harun Yahya: Darwinism Refuted, Goodword Books, New Delhi, 2003.
14. Pierre-Paul Grasse,
Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h.97
15. Pada tahun 1999, seorang
paleontolog Cina menemukan fosil dua jenis ikan yang berumur kira-kira 530 juta
tahun di fauna Chengjiang. Masa itu dikenal sebagai Zaman Kambria Awal. Lihat BBC
News Online, 4 November 1999.
16. Sejarah Darwinisme
meliputi sejumlah contoh terkenal bukti yang dipalsukan. “Manusia Piltdown”
atau “moyang purba manusia” ternyata cuma tipuan yang dibuat dengan
menggabungkan rahang orang utan dan tengkorak manusia. Ahli biologi Jerman Ernst
Haeckel memalsukan gambar-gambar embrio manusia dan hewan agar tampak mirip,
dan gambar-gambar palsunya menyesatkan ilmuwan selama puluhan tahun. Foto
terkenal Ketllewells tentang “penghitaman industri”, yang memperlihatkan
ngengat abu-abu Inggris, baru-baru ini terungkap sebagai foto-foto yang diatur
di mana contoh sediaan mati direkatkan ke batang pohon. “Burung dino” yang
mengejutkan, yang diberi nama ilmiah Archaeoraptor and mengguncang dunia
di tahun 1998 ternyata dusta yang diolah dengan merekatkan lima fosil berbeda
dari makhluk-makhluk hidup berbeda. Untuk rinciannya, lihat Harun Yahya, Darwinism
Refuted, Goodword Books, New Delhi, 2003.
17. Prof. N. Heribert
Nilsson, Universitas Lund, Swedia. Ahli botani dan evolusionis ternama,
sebagaimana dikutip dalam: The Earth Before Man, h.51, http:
//www.netcentro.co.uk/steveb/penkhull/create3.htm. (Penebalan oleh Harun Yahya)
18. T. Neville George, "Fossils
in Evolutionary Perspective", Science Progress, vol 48, Januari 1960,
h. 1,3 (Penebalan oleh Harun Yahya)
19. Mark Czarnecki, "The
Revival of the Creationist Crusade", MacLean's, 19 January 1981, h. 56
20. Henry Gee, In Search
of Deep Time, New York, The Free Press, 1999, h.116-117.
21. Gertrude Hommerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 384
(Penebalan oleh Harun Yahya)
22. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 383
23. Mayr, Ernst, "Darwin
and Natural Selection", American Scientist, vol.65 (May/June, 1977) h.
323 (Penebalan oleh Harun Yahya)
24. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 383
25. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 383
26. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 384
27. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 385
28. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 381
(Penebalan oleh Harun Yahya)
29. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 382
30. Francis Darwin, The
Life and Letters of Charles Darwin, D. Appleton and Co., 1896, Chapter
1.VIII., Religion.
31. Francis Darwin, The
Life and Letters of Charles Darwin, D. Appleton and Co., 1896, Chapter
1.VIII., Religion.
32. Francis Darwin, The
Life and Letters of Charles Darwin, Charles Darwin kepada C. Lyell, D.
Appleton and Co., 1896, Down, April [1860].
33. Francis Darwin, The
Life and Letters of Charles Darwin, D. Appleton and Co., 1896, CHAPTER
2.XVI.
34. Conway Zirkle, Evolution,
Marxian Biology and the Social Scene, Philadelphia; the University of
Pennsylvania Press, 1959, h. 527 (Penebalan oleh Harun Yahya)
35. Robert M. Young, Darwinian
Evolution and Human History, Ceramah radio yang diberikan dalam sebuah
kuliah Universitas Terbuka tentang Darwin ke Einstein: Telaah Sejarah atas Ilmu
Pengetahuan dan Agama, 1980 (Penebalan oleh Harun Yahya)
36. L. Poliakov, Le Mythe
Aryen, Editions Complexe, Calmann Lévy, Bruxelles, 1987, h. 343 (Penebalan
oleh Harun Yahya)
37. Carl Cohen, Communism,
Fascism and Democracy, New York: Random House Publishing, 1967, ph. 408-409
(Penebalan oleh Harun Yahya)
38. Fredrick Engels, Socialism:
Utopian and Scientific, Part II: Science of Dialectics, http:
//www.marxists.org/archive/marx/works/1880/soc-utop/ch02.htm.
39. H. J. Darlington,
Evolution for Naturalists, NY: Wiley, 1980, h. 243-244
40. Robert Shapiro, Origins:
A Sceptic's Guide to the Creation of Life on Earth, Summit Books, New York,
1986, h. 207. (Penebalan oleh Harun Yahya)
41. Benjamin Farrington, What
Darwin Really Said, London: Sphere Books, 1971, h. 54-56
42. Charles Darwin, The
Descent of Man, 2nd ed., New York: A.L. Burt Co., 1874, h. 178
43. Ebus Suud adalah sheik
Islam dan ulama zaman Ottoman yang hidup antara 1492/3-1574/5.
44. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 6, h. 2631
45. Omar Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851
46. Hamdi Yazir of Elmali,
http: //www.kuranikerim.com/telmalili/insandehr.htm
47. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851
48. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 6, h. 2684
49. Hamdi Yazir of Elmali,
http: //www.kuranikerim.com/telmalili/insandehr.htm
50. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 6, h. 2684
51. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3915
52. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 3, h. 1268
53. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 4, h. 1958
54. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 4, h. 1991
55. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 6, h. 2763
56. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 4, h. 1991
57. Hamdi Yazir dari Elmali,
http: //www.kuranikerim.com/telmalili/infitar.htm
58.
Hamdi Yazir dari Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/infitar.htm
59. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3983
60. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 6, h. 2748
61. Imam
at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 4, h. 1796
62. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, h. 2764
63.
Hamdi Yazir dari Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/nuh.htm
64. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851
65. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 6, h. 2632
66. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 4, h. 1707
67. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 5, h. 2622
68.
Hamdi Yazir dari Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/kasas.htm
69. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 4, h. 1877
70. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 6, h. 2882
71. Lihat Harun Yahya, Darwinism
Refuted, Goodword Books, New Delhi, 2003; Phillip E. Johnson, Reason in
the Balance, Intervarsity Press, 1995; Phillip E. Johnson, The Wedge of
Truth, Intervarsity Press, 2000; Benjamin Wiker, Moral Darwinism: How We
Became Hedonists, Intervarsity Press, 2002
72. Di Amerika Serikat,
sejumlah ilmuwan yang mengecam Darwinisme telah didepak dari kedudukan mereka
oleh lembaga Darwinis seperti American Civil Liberties Union dan National
Center for Science Education. Robert deHart, seorang guru SMU, dikeluarkan di
tahun 1998 hanya karena menyebutkan kepada para muridnya sejumlah keterangan
yang mengecam Darwinisme.
73. Phillip E. Johnson
adalah seorang tokoh terdepan dalam perang pemikiran melawan Darwinisme.
Buku-bukunya mencakup Darwin on Trial, Reason in the Balance,
Defeating Darwinism by Opening Minds, Objections Sustained dan The
Wedge of Truth.
74. Philip E. Johnson, Darwin
On Trial, Intervarsity Press, Downers Grove, Illinois, cetakan ke-2, 1993,
p.155
[1] Catatan kaki 1
[2] Catatan kaki 2
[3] Catatan kaki 3
[4] Catatan kaki 4
[5] Catatan kaki 5
[6] Catatan kaki 6
[7] Catatan kaki 7
[8] Catatan kaki 8
[9] Catatan kaki 9
[10] Catatan kaki 10
[11] Catatan kaki 11
[12] Catatan kaki 12
[13] Catatan kaki 13
[14] Catatan kaki 14
[15] Catatan kaki 15
[16] Catatan kaki 16
[17] Catatan kaki 17
[18] Catatan kaki 18
[19] Catatan kaki 19
[20] Catatan kaki 20
[21] Catatan kaki 21
[22] Catatan kaki 22
[23] Catatan kaki 23
[24] Catatan kaki 24
[25] Catatan kaki 25
[26] Catatan kaki 26
[27] Catatan kaki 27
[28] Catatan kaki 28
[29] Catatan kaki 29
[30] Catatan kaki 30
[31] Catatan kaki 31
[32] Catatan kaki 32
[33] Catatan kaki 33
[34] Catatan kaki 34
[35] Catatan kaki 35
[36] Catatan kaki 36
[37] Catatan kaki 37
[38] Catatan kaki 38
[39] Catatan kaki 39
[40] Catatan kaki 40
[41] Catatan kaki 41
[42] Catatan kaki 42
[43] Catatan kaki 43
[44] Catatan kaki 44
[45] Catatan kaki 45
[46] Catatan kaki 46
[47] Catatan kaki 47
[48] Catatan kaki 48
[49] Catatan kaki 49
[50] Catatan kaki 50
[51] Catatan kaki 51
[52] Catatan kaki 52
[53] Catatan kaki 53
[54] Catatan kaki 54
[55] Catatan kaki 55
[56] Catatan kaki 56
[57] Catatan kaki 57
[58] Catatan kaki 58
[59] Catatan kaki 59
[60] Catatan kaki 60
[61] Catatan kaki 61
[62] Catatan kaki 62
[63] Catatan kaki 63
[64] Catatan kaki 64
[65] Catatan kaki 65
[66] Catatan kaki 66
[67] Catatan kaki 67
[68] Catatan kaki 68
[69] Catatan kaki 69
[70] Catatan kaki 70
[71] Catatan kaki 71
[72] Catatan kaki 72
[73] Catatan kaki 73
[74] Catatan kaki 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar