BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pendidikan disiplin merupakan suatu proses
bimbingan yang bertujuan menanamkan pola perilaku tertentu, kebiasaan-kebiasaan
tertentu, atau membentuk manusia dengan ciri-ciri tertentu, terutama untuk
meningkatkan kualitas mental dan moral (Sukadji, 1988). Di dalam keluarga
pendidikan disiplin dapat diartikan sebagai metode bimbingan orang tua agar
anaknya mematuhi bimbingan tersebut. Setiap orangtua pasti berusaha untuk
mengajarkan disiplin kepada anak-anaknya, dengan menanamkan perilaku yang
dianggap baik dan menghindari perilaku yang dianggap tidak baik. Hal ini memang
akan lebih mudah dilakukan jika anak sebagai seorang individu mematuhi kemauan
orang tuanya. Namun demikian, tujuan utama dari disiplin bukanlah hanya
sekedar menuruti perintah atau aturan saja. Patuh terhadap perintah dan aturan
merupakan bentuk disiplin jangka pendek. Sedangkan tujuan pendidikan disiplin
adalah agar setiap individu memiliki disiplin jangka panjang, yaitu disiplin
yang tidak hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap aturan atau otoritas,
tetapi lebih kepada pengembangan kemampuan untuk mendisiplinkan diri sendiri
sebagai salah satu ciri kedewasaan individu. Kemampuan untuk mendisiplinkan
diri sendiri terwujud dalam bentuk pengakuan terhadap hak dan keingian orang
lain, dan mau mengambil bagian dalam memikul tanggung jawab sosial secara
manusiawi. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi hakekat dari disiplin.
Terkadang
kita menemui masalah disiplin ini didalam kelas, sehingga siswa-siswa yang
terlibat dalam kekacauan kelas tidak bisa belajar. Sesungguhnya Pembentukan disiplin diri merupakan suatu proses
yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu pendidikan disiplin
pertama-tama sudah dimulai dari keluarga (orang tua). Dalam kehidupan masyarakat secara
umum, metode yang paling sering digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah
dengan pemberian hukuman. Hal yang sama dilakukan juga oleh sebagian besar
orang tua
atau pun guru dalam mendidik anak-anak atau murid-murid. Kerugiannya adalah
disiplin yang tercipta merupakan disiplin jangka pendek, artinya anak hanya
menurutinya sebagai tuntutan sesaat, sehingga seringkali tidak tercipta
disiplin diri pada mereka. Hal tersebut disebabkan karena dengan hukuman anak
lebih banyak mengingat hal-hal negatif yang tidak boleh dilakukan,
daripada hal-hal positif yang seharusnya dilakukan.
Dampak lain dari penggunaan hukuman adalah
perasaan tidak nyaman pada anak karena harus menanggung hukuman yang diberikan
orangtuanya jika ia melanggar batasan yang ditetapkan. Tidak mengherankan jika
banyak anak memiliki persepsi bahwa disiplin itu adalah identik dengan
penderitaan. Persepsi tersebut bukan hanya terjadi pada anak-anak tetapi juga
seringkali dialami oleh orangtua mereka. Akibatnya tidak sedikit orangtua
membiarkan anak-anak "bahagia" tanpa disiplin. Tentu saja hal ini
merupakan suatu kekeliruan besar, karena di masa-masa perkembangan berikutnya
maka individu tersebut akan mengalami berbagai masalah dan kebingungan karena
tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri.
Tidak ada hal yang lebih penting dalam
manajemen diri dibandingkan dengan kedisiplinan. Selain pentingnya menemukan
arah dan tujuan hidup yang jelas, kedisiplinan merupakan syarat mutlak untuk
mencapai impian kita atau melaksanakan misi hidup kita. Kita harus disiplin
dalam mengembangkan diri kita (lifetime improvements) dalam segala aspek, kita
harus disiplin dalam mengelola waktu dan uang kita, kita harus disiplin dalam
melatih keterampilan kita dalam setiap bidang yang kita pilih. Kita seharusnya
belajar banyak dari orang-orang luar biasa dalam sejarah umat manusia.
Dalam belajar pun kedisiplinan sangat
penting, orang yang berhasil dalam berbisnis dan belajar adalah orang yang
keras terhadap dirinya sendiri atau orang yang dsisiplin terhadap waktu dan
lain – lain. Maka kesimpulan pendek yang dapat kita tarik adalah Jika ingin berhasil dalam belajar
kedisiplinan maka harus ditegakkan.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Identifikasi
penulis dalam penulisan studi kasus ini yaitu:
§ Kurangnya disiplin siswa dalam menjalankan peraturan sekolah.
§ Kurangnya disiplin dalam proses pembelajaran, seperti ribut, tidak teratur
dan lain-lain.
C. PEMBATASAN MASALAH
Untuk mempermudah dalam
penulisan studi kasus, dikarenakan skope pembahasannya yang luas maka penulis
membuat batasan masalah hanya berkisar pada masalah : Kurangnya disiplin dalam
belajar.
D. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa pentingnya disiplin dalam belajar?
2. Bagaimana untuk meningkatkan disiplin
diri?
BAB II
PEMBAHASAN
A. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Adapun teknik
pengumpulan data dalam pembuatan studi kasus ini adalah
v
Observasi yaitu pengamatan langsung terhadap gejala – gejala
yang dijumpai dilapangan sehubungan dengan studi kasus ini.
v
Interview
yaitu dengan menanyakan kepada guru-guru bagaimana sikap siswa-siswa SMPN 5
Bengkalis terhadap kedisiplinan sekolah dan sikap didalam kelas.
B. RUANG LINGKUP
Ada beberapa masalah yang
penulis dapati ketika mengikuti praktik mengajar di SMP Negeri 05 Bengkalis kurangnya
motivasi dan juga malas dalam belajar dan malas mengerjakan tugas yang
diberikan guru, kurang disiplinnya siswa terhadap peraturan sekolah dan
belajar. Dalam beberapa masalah yang ditemui tersebut Penulis, maka penulis
merasa tertarik untuk membuat sebuah studi kasus yang merupakan syarat dalam
menyelesaikan tugas akhir dari Praktik
Mengajar yaitu : ”KURANGNYA DISIPLIN DALAM BELAJAR”
B. Teori- Teori Pemecahan Masalah
Kata ‘disiplin’ atau ‘self-control’
berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata yang berarti ”menggenggam” atau
”memegang erat”. Kata ini sesungguhnya menjelaskan orang yang bersedia
menggenggam hidupnya dan mengendalikan seluruh bidang kehidupan yang membawanya
kepada kesuksesan atau kegagalan. John
Maxwell mendefinisikan ‘disiplin’ sebagai suatu pilihan dalam hidup untuk
memperoleh apa yang kita inginkan dengan melakukan apa yang tidak kita
inginkan. Setelah melakukan hal yang tidak kita inginkan selama beberapa waktu
(antara 30 – 90 hari), ‘disiplin’ akhirnya menjadi suatu pilihan dalam hidup
untuk memperoleh apa yang kita inginkan dengan melakukan apa yang ingin kita
lakukan sekarang.
Berikut beberapa hal yang perlu kita
lakukan untuk meningkatkan disiplin diri:
Tetapkan tujuan atau target
yang ingin dicapai dalam waktu dekat. Buat urutan prioritas hal-hal yang ingin
kita lakukan. Buat jadwal kegiatan secara tertulis (saya selalu menempelkan
jadwal kegiatan saya di dinding depan meja kerja saya di rumah). Lakukan kegiatan sesuai dengan jadwal yang
kita buat, tetapi jangan terlalu kaku. Jika perlu, kita dapat mengubah jadwal
tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi. Berusahalah untuk senantiasa
disiplin dengan jadwal program kegiatan yang sudah kita susun sendiri. Sekali
kita tidak disiplin atau menunda kegiatan tersebut, akan sulit bagi kita untuk
kembali melakukannya. Penjelasan ini membawa kita untuk mengetahui dan memahami
diri kita, cara mengubah realitas, cara memanfaatkan potensi luar biasa dalam
diri kita. Namun, semua ini tidak akan ada artinya jika kita tidak melakukan
sesuatu. Kita harus melakukan sesuatu untuk kehidupan kita karena hanya kita
sendiri yang dapat mengubah kehidupan kita. Melakukan sesuatu berarti mengambil
langkah pertama, yaitu menetapkan tujuan atau target kita dan jangan menunda
sampai situasi sempurna bagi kita. Kemudian, lakukan terus dengan disiplin,
sehingga kita berhak mendapatkan apa yang kita inginkan.
Pembentukan disiplin diri
merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena
itu pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai dari keluarga (orangtua).
Dalam kehidupan masyarakat secara umum, metode yang paling sering digunakan
untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan pemberian hukuman. Hal yang sama
dilakukan juga oleh sebagian besar orangtua atau pun guru dalam mendidik
anak-anak atau murid-murid. Kerugiannya adalah disiplin yang tercipta merupakan
disiplin jangka pendek, artinya anak hanya menurutinya sebagai tuntutan sesaat,
sehingga seringkali tidak tercipta disiplin diri pada mereka. Hal tersebut
disebabkan karena dengan hukuman anak lebih banyak mengingat hal-hal
negatif yang tidak boleh dilakukan, daripada hal-hal positif yang
seharusnya dilakukan.
Walaupun dalam merespon
perilaku setiap individu akan memiliki cara-cara berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Ada beberapa hal pokok yang dapat diacu sebagai dasar merespon
setiap perilaku dalam rangka pendidikan disiplin, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1.
Berkelanjutan
Pendidikan merupakan suatu proses
berkelanjutan, artinya disiplin tidak hanya diberikan setelah anak masuk
sekolah atau setelah masa remaja, tetapi harus sudah dilatih sejak anak baru
dilahirkan ke dunia ini. Sejak anak membutuhkan kedekatan dengan orang dewasa,
membutuhkan kasih sayang orang dewasa. Orang tua dapat memulai mendidik
disiplin dengan menunjukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang
baik dan mana yang jelek. Sebagai contoh agar anak dapat disiplin dalam buang
air, maka orang tua harus secara berkelanjutan dan konsisten dalam membersihkan
dan mengganti pakaian sang bayi, ia di kenalkan pada situasi yang menyenangkan
dan tahu apa yang harus dilakukan dengan semestinya sejak dini. Dengan
perlakuan orang tua yang demikian akan meringankan tugas pada masa berikutnya
karena anaknya tidak akan mengenal ngompol.
2. Autoritatif
Pendidikan disiplin sebaiknya tidak
dilakukan dengan cara yang terlalu otoriter, tetapi juga tidak terlalu
memperbolehkan semuanya (permisif). Cara yang tepat dalam pendidikan disiplin
bagi remaja disebut dengan istilah moderatnya autoritatif : fleksibel, tetapi
bila perlu tegas. Dalam menerapkan cara disiplin yang permisif (dapat dikatakan
sebagai mendidik tanpa disiplin) cenderung menghasilkan anak remaja yang manja,
semena-mena, anti sosial dan cenderung agresif. Sebaliknya, disiplin yang keras
yang terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan
berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Hal ini dapat membuat remaja menjadi
seorang penakut, tidak ramah dengan
orang lain, dan membenci orang yang
memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif bahkan ada pula yang
pada akhirnya melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Hubungan dengan
lingkungan sosial akan lebih berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutam. Siapa
yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak
berkuasa menjadi tunduk. Ada pula yang menimbulkan pembelotan, hal ini terjadi
terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan
alternatif (cara) lain untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar. Contoh: remaja dilarang untuk keluar bermain,
tetapi di dalam rumah ia tidak melakukan apa-apa dan tidak diperhatikan oleh
kedua orang tuanya karena kesibukan mereka.
3. Beri Batas-Batas yang Jelas
Batas-batas tentang boleh atau tidak boleh
haruslah jelas, misalnya kapan anak boleh bermain, dimana dan dengan
siapa sehingga anak tidak menganggu orang lain dan menghindarkan anak dari
kecelakaan. Sejak masa kanak-kanak orangtua harus sudah memberikan
batasan-batasan tersebut. Misalnya: anak boleh mengambarkan dengan pensil warna
dikertas-kertas, dipapan yang telah ditentukan, tetapi tidak boleh di buku
pelajaran kakaknya, buku ayah atau ibu, dan tidak boleh menggambar di tembok. Penting bagi orangtua untuk mengingat bahwa
batasan dan fasilitas yang diberikan oleh orang tua, hendaknya memenuhi
kriteria tertentu: diperlukan, masuk akal, diberikan dengan penuh ketulusan dan
kebaikan hati, dan secara konsisten sesuai kematangan anak. Fasilitas dianggap
diperlukan bila anak dapat mencapai kemajuan yang lebih baik jika adanya
fasilitas tersebut. Batas dan fasilitas dianggap masuk akal bila memenuhi
pertimbangan kesehatan dan keadilan. Kebaikan hati adalah keinginan dalam
memenuhi kebutuhan anak untuk berkembang seoptimal mungkin tanpa melampaui
kemampuan anak mengontrol diri.
4. Konsisten & Fleksibel
Setelah batas-batas
ditentukan, maka orangtua harus mengupaya kesepakatan dengan anaknya untuk
saling mematuhi apa yang telah ditentukan. Walau demikian, batas-batas yang
ditentukan ini harus terus direvisi sesuai dengan perkembangan anak dan anak
telah mencapai remaja maka penentuannya harus mengikut sertakan masukan dari
remaja. Dengan cara tersebut diharapkan dapat membantu remaja untuk lebih cepat
mengembangkan tanggung jawab atas disiplin diri.
Meski batas-batas telah ditentukan ada kalanya keadaan memaksa dan
batas tersebut terpaksa dilanggar. Dalam kondisi ini orangtua perlu segera
memberitahu dan menjelaskan pada remaja bahwa keadaan tersebut dapat
dipahami dan diterima oleh orangtua namun bukan berarti bahwa batasan yang
telah ditentukan tidak berlaku lagi. Sikap dan komunikasi orang tua semacam ini akan
dapat mengurangi rasa berdosa, penyesalan bahkan rasa sakit hati yang tidak
diperlukan.
5. Komunikasi
Dalam kenyataan sehari-hari, banyak masalah yang berhubungan dengan
disiplin sebenarnya dapat diselesaikan dengan menggunakan komunikasi timbal
balik yang efektif antara anak dan orangtua. Dalam hal ini
cara-cara berkomunikasi akan memegang peranan penting dalam pembentukan
disiplin. Komunikasi dalam bentuk sindiran, hinaan, merendahkan harga diri
orang lain hendaknya digunakan seminimal mungkin, bahkan harus dihindari sama
sekali. Anak dan remaja sangatlah peka terhadap hal ini, dan dapat sakit hati
karenannya. Jika cara-cara tersebut yang digunakan untuk mendisiplinkan anak,
cara-cara demikian akan cenderung ditiru dalam hubungan interpersonal dengan
orang-orang lain yang akibatnya dapat merugikan diri sang anak maupun orang
lain.
Menurut Sri Esti Wuryani Djiwandono
didalam bukunya psikologi Pendidikan, Ada beberapa cara untuk membantu
mengembangkan disiplin yang baik di kelas:
1)
Perencanaan, meliputi membuat aturan dan prosedur dan
menentukan konsekuen untuk aturan yang dilanggar. Jauh sebelum siswa datang,
seorang guru harus mencoba meramalkan organisasi apa yang diperlukan dan
menentukan bagaimana merespon masalah yang tak terelakkan.
2)
Mengajar siswa bagaimana mengikuti aturan. Pekerjaan
ini harus dimulai pada hari pertama masuk kelas. Hasil dari penelitian bahwa
beberapa minggu pertama dalam kelas adalah masa kritis dalam mengembangkan
pola-pola disiplin yang efektif dan komunikasi yang baik antara guru dan siswa.
3)
Merespons secara tepat dan konstruktif ketika masalah
timbul (seperti yang selalu guru lakukan). Contoh, apa yang akan kita lakukan ketika
siswa menantang kita secara terbuka di
muka kelas; ketika seorang siswa menanyakan kita bagaimana menyelesaikan
masalah yang sulit; ketika kita menangkap seorang siswa yang menyontek; ketika
seorang siswa “hilang” dan tidak mau berpartisipasi. Maka penggunaan waktu yang
efesien dan kegiatan pengajaran yang diatur secara hati-hati akan mengurangi
sebagian besar masalah tingkah laku/kedisiplinan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
·
Lembaga
pendidikan, sebagai wadah tempat berkumpulnya agen-agen perubahan sosial dan
segala perangkatnya, haruslah memiliki prinsip kebersamaan atau kerjasama yang
baik antar lembaga dan anggota serta orang-orang yang berkepentingan di
dalamnya, tanpa kerjasama yang baik, semua cita-cita yang menjadi tujuan
berdirinya lembaga pendidikan ibarat asap yang terlihat tebal akan tetapi mudah
sirna dengan sendirinya. Maka antara guru dan siswa harus saling
bersinergi dimana guru sebagai pembuat peraturan dan juga sebagai contoh
tauladan bagi murid-muridnya, dan muridpun harus mentaati dan berdisiplin
dengan peraturan yang ada.
ü
Pemerintah melalui Undang-undang Sisdiknasnya
yang menitikberatkan cita-cita luhur pendidikan haruslah menjadi motivator pada
pembentukan pribadi yang memiliki kecerdasan akal dan spiritual, dengan
menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan dan kerjasama yang baik dengan
elemen-elemen pendidikan itu sendiri.
ü Sehingga dihadapkan dalam belajar pun
kedisilpinan sangat penting, orang yang berhasil dalam berbisnis dan belajar
adalah orang yang keras terhadap dirinya sendiri atau orang yang dsisiplin
terhadap waktu dan lain – lain. Maka kesimpulan pendek yang dapat kita tarik
adalah Jika ingin berhasil dalam belajar
kedisiplinan musti harus ditegakkan. Maka kedisiplinan itu sangat penting.
·
Untuk
meningkatkan kedisiplinan diri maka harus dimulai dari dini yang pembentuk
awalnya adalah keluarga. Dan jika disekolah maka guru memiliki peran penting untuk
membentuk kedisiplinan dengan perencanaan, bagaimana mengikuti aturan,
merespons secara tepat dan konstruktif serta menggunakan waktu yang efisien.
Namun kesadaran dirilah yang membentuk jiwa disiplin yang permanen.
B. SARAN
Untuk
menerapkan kedisiplinan memang bukan hal yang mudah, tapi karena dimulai dari
dini tentang penanaman nilai-nilai kedisiplinan ini semoga anak-anak kita
nantinya akan terbiasa berperilaku disiplin dalam kehidupan sehari-hari. Dan
guru berperan penting untuk membentuk siswa agar disiplin dalam belajar
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Syaiful Djamarah. 2002. Rahasia Sukses
Belajar. Jakarta.
Rineka Cipta.
Gordon
Dryden dan Jeannette Vos. 2000. Revolusi Cara Belajar. Bandung: Mizan Media Utama.
Hamalik, Umar 2005 Kurikulum
Dan Pembelajaran, PT Bumi aksara.jakarta cet 4
Sri
Esti Wuryani Djiwandono.2002. Psikologi
Pendidikan. Malang: Grasindo.
Uhbiyah.Nur 1997.
Ilmu Pendidikan Islam. Pustaka setia. cet 2. Bandung.
Tu’u,
Tulus. 2004. Peran Disipin pada perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta
: Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar